Sabtu, 09 Agustus 2008

Ringkasan Penelitian Tentang Masalah Sosial


PERANAN KELUARGA MATRILINEAL MINANGKABAU TERHADAP KEBERADAAN PEREMPUAN LANJUT USIA

(Penelitian ini didanai oleh dana DP2M DIKTI Jakarta tahun 2007)


Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa konsekuensi bertambahnya jumlah lansia. Abad 21 ini merupakan abad lansia (era of population ageing), karena pertumbuhan lansia di Indonesia akan lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain. Indonesia diperkirakan mengalami aged population boom pada dua dekade permulaan abad 21 ini. Hal tersebut perlu terus diantisipasi karena akan membawa implikasi luas dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Karena itu, lansia perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan nasional. Di sisi lain, lansia menjadi sumber daya manusia yang mempunyai pengalaman luas. Yakni pengalaman dan kearifan yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan di berbagai bidang.



Sistem nilai sosial budaya di Indonesia menempatkan lanjut usia sebagai warga terhormat, baik di lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Hingga saat ini masih cukup banyak keluarga yang di dalamnya terdapat tiga generasi (three generation in one roof). Namun pola tanggung jawab sosial yang berakar pada budaya masyarakat Minangkabau, dalam pelaksanaan yang seharusnya dilakukan di tengah keluarga sendiri, sekarang banyak dari orangtua tersebut dimasukkan ke panti jompo. Kebanyakan anggota masyarakat kelihatannya tidak lagi begitu memikirkan untuk bisa membantu dan menyantuni orangtua dan mamak mereka yang yang sebagian besar sudah tidak mempunyai sumber penghidupan lagi. Gejala ini dapat dipakai sebagai indikator untuk menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial terhadap orangtua telah mengalami pergeseran.


Konsekuensi dari meningkatnya para manusia lanjut usia (manula) setiap tahunnya maka pelayanan terhadap para lanjut usia yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat harus terus dilakukan sesuai dengan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang merupakan kewajiban bagi setiap warganegara. Demikian pula tuntutan agama dan nilai luhur budaya bangsa Indonesia dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, orangtua yang tergolong lanjut usia ditempatkan pada posisi terhormat dan dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Generasi muda dianjurkan untuk menghormati dan bertanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarga yang lebih tua, terutama orangtua sendiri. Dengan demikian keluarga merupakan wahana yang tepat untuk pelayanan orang lanjut usia terutama perempuan lanjut usia dalam keluarga karena keluarga mempunyai kewajiban moril yang sangat luhur untuk tetap mengurus dan melayani orang lanjut usia dalam lingkungan keluarga.


Keluarga merupakan tempat berlindung dari tekanan-tekanan fisik maupun psikis yang datang dari lingkungannya. Untuk melindungi diri maka diperlukan adanya ketahanan fisik maupun psikis di lingkungan keluarga tersebut, baik yang menyangkut kondisi fisik, ekonomi, sosial maupun kondisi psikisnya. Dengan demikian lanjut usia yang ada dalam keluarga merasa aman dan nyaman. Lanjut usia adalah orang/warganegara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang berumur 55 tahun ke atas. Lanjut usia yang layak dilayani dalam keluarga, yakni lanjut usia yang wajar menurut tahap perkembangan usianya dan minimal mampu mengurus diri serta tidak memerlukan layanan khusus profesional.


Suku bangsa Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang menganut sistem keluarga yang disebut matrilineal, artinya sistem keluarga yang berada di garis keturunan ibu, dimana kekuasaan harta menjadi milik ibu. Peran dan tanggung jawab keluarga matrilineal terhadap orangtua yang telah lanjut usia berada di tangan keluarga ibu, yaitu mamak (adik ibu laki-laki) dan keluarga luas ibu. Bagi keluarga dan masyarakat Minangkabau dan hidup dalam sistem kekerabatan keluarga luas, secara ideal budaya jaminan sosial bagi orang lanjut usia terutama perempuan lanjut usia sangatlah tinggi.


Secara ideal budaya jaminan sosial bagi orang lanjut usia terutama perempuan lanjut usia berbentuk lingkaran konsentris yang intinya terletak di bagian dalam lingkaran tersebut dimana jaminan sosial terhadap keberadaan perempuan lanjut usia sangatlah tinggi sehingga lembaga panti jompo tidak berlaku di daerah Kelurahan Payonibung.


Peran masyarakat kelurahan Payonibung dalam meningkatkan kesejahteraan sosial para perempuan lanjut usia adalah dengan membentuk kegiatan-kegiatan para lanjut usia. Saat ini di kelurahan Payonibung terdapat kelompok lanjut usia yang bernama kelompok ”mawar” yang beranggotakan para perempuan lanjut usia yang berumur 50 tahun ke atas. Kegiatan kelompok para perempuan lanjut usia tersebut diisi dengan kegiatan senam, Posyandu Lansia seperti pemeriksaan berkala kesehatan, pemeriksaan penyakit dan lain sebagainya. Penanaman nilai-nilai positif dan penanganan masalah kesehatan para perempuan lanjut usia memerlukan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat agar para perempuan lanjut usia tersebut meningkatkan pengetahuan serta ketrampilannya baik untuk berkarya maupun pengembangan bagi mereka.


Penelitian ini mengungkapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kondisi penduduk perempuan lanjut usia dalam keluarga luas yang menganut sistem matrilineal dahulu dan sekarang, akses dan pola tanggung jawab sosial terhadap keberadaan perempuan lanjut usia yang belum terpengaruh oleh nilai-nilai budaya institusi panti jompo sehingga keberadaan perempuan lanjut usia mendapat jaminan sosial dalam keluarga luas Minangkabau Dengan melihat kondisi tersebut diatas akan dapat dirumuskan satu model yang tepat untuk diterapkan ke dalam pelayanan kesejateraaan sosial bagi perempuan lanjut usia dalam keluarga bagi daerah lain di Minangkabau.


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tehnik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Dalam penjaringan informan yang dipilih adalah yang memiliki latar belakang keluarga-keluarga mampu, cukup dan miskin dan data yang bersifat umum yang berasal dari kepala lurah dan tokoh masyarakat.


Kelurahan Payonibung sebagai bagian dari wilayah Minangkabau memiliki budaya khusus, yakni menganut sistem matrilineal dimana anak-anak menganut garis ibu. Kekuasaan harta menjadi milik ibu, sedang bapak berkewajiban memenuhi nafkah istri dan anak-anak. Oleh karena itu pada bapak untuk kelompok umur 26-50 tahun jarang berada di rumah dan lebih banyak merantau. Sedangkan bila kaum bapak berada di rumah mereka adalah pegawai dan atau umur mereka sudah termasuk lanjut usia. Lanjut usia pada kelurahan Payonibung tidak ada yang masuk ke panti jompo dikarenakan masih adanya budaya malu atau merendahkan martabat daerah. Selain itu, peran keluarga luas dalam sistem kekerabatan Matrilineal untuk memberikan pelayanan kepada lanjut usia sangat tinggi sehingga terdapat lanjut usia yang terlantar maka yang mengurus mereka adalah kerabat adat.


Kondisi penduduk lanjut usia terutama perempuan lanjut usia, baik dari segi kondisi kesehatan maupun segi pelayanan sangat berbeda antara dahulu dengan sekarang. Di kelurahan Payonibung, para perempuan lanjut usia mengalami kondisi yang berbeda di dalam masyarakat. Dahulunya bahwa kondisi kesehatan dan pelayanan masih belum terperhatikan secara baik oleh keluarga dan masyarakat. Hal tersebut terkait erat dengan persoalan materi/keuangan yang tidak memadai dalam masyarakat dikarenakan saat itu Indonesia masih mengalami masa penjajahan dan berujung kepada kemiskinan. Untuk saat ini, perhatian kepada perempuan lanjut usia dalam keluarga dan masyarakat sangatlah besar untuk meningkatkan kesejahteraan sosial mereka dan didukung dengan jaminan sosial yang tinggi dalam keluarga dan masyarakat.


Dalam keluarga, anak dan kerabat yang telah bekerja, baik yang berada di rumah maupun di perantauan mampu memberikan pelayanan yang baik dari segi materi, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Sedangkan dalam masyarakat, perempuan lanjut usia dapat bersosialisasi dengan lembaga-lembaga yang mendorong diri mereka untuk menanamkan nilai-nilai kesejahteraan sosialnya, seperti lembaga kesehatan, lembaga sosial dan lain-lain.


Selain itu, perbedaan pelayanan perempuan lanjut usia dahulu dengan sekarang adalah ketersediaan teknologi IPTEK seperti buku, tontonan TV dan informasi-informasi yang menambah pengetahuan para lanjut usia, penyediaan makanan yang bergizi dan ketersediaan fasilitas, seperti rumah yang sehat, lembaga kesehatan dan sosial.


Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para perempuan lanjut usia di Kelurahan Payonibung merasa bahagia karena mendapatkan pelayanan dari keluarga luasnya dengan baik menurut kondisi dan kemampuan yang ada. Selain itu para perempuan lanjut usia telah diberikan kebebasan oleh keluarganya untuk bisa bersosialisasi dengan mayarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Para perempuan lanjut usia memiliki wadah organisasi para lanjut usia, yaitu kelompok ”mawar” yang dibentuk oleh pemerintahan kelurahan dan dikoordinir oleh tim PKK kelurahan. Organisasi kelompok lanjut usia ini berdampak positif terhadap kesejahteraan mereka terutama meningkatkan kesehatan para lanjut usia. Kegiatan yang rutin dilaksanakan kelompok ini adalah pemeriksaan kesehatan oleh tim Puskesma setiap bulannya, kegiatan senam dan kegiatan meningkatkan ketrampilan para perempuan lanjut usia.

Ringkasan Penelitian tentang Masyarakat Nelayan

Pemanfaatan Budaya Lokal Terhadap Teknologi Penangkapan Ikan

Pada Masyarakat Nelayan.

(Penelitian ini didanai oleh Dana DP2M DIKTI Tahun 2007)


Mata pencaharian terbesar sebagai nelayan yang digeluti oleh masyarakat Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang disebabkan oleh faktor geografis dimana wilayah Pasar Laban terletak memanjang di pinggiran pantai yang merupakan salah satu faktor yang terus dipergunakan untuk kelangsungan hidup mereka. Nelayan dalam memperoleh hasil tangkapan ikan di laut memiliki budaya dan teknologi penangkapan ikan yang telah ada sejak nenek moyangnya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan juga diperoleh dengan cara mempelajari pengalaman-pengalaman dari orang sebelumny serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang tidak terlepas dari budaya lokal yang mereka miliki.


Dewasa ini jumlah teknologi penangkapan ikan semakin banyak baik yang masih bersifat tradisional maupun modern dalam meningkatkan perolehan tangkapan ikan di laut. Oleh sebab itu, masyarakat nelayan lokal sangat dituntut untuk dapat mengembangkan teknologi perikanan yang lebih baik lagi melalui budaya lokal setempat supaya mereka tidak tersingkir oleh keberadaan teknologi penangkapan modern nelayan lainnya. Budaya lokal dan teknologi perikanan yang harus mereka kembangkan berupa cara penangkapan ikan yang relatif modern, pemasaran ikan dan terutama pembuatan teknologi penangkapan ikan berupa kapal/perahu yang sesuai dengan budaya masyarakat yang telah ada.


Kapal/perahu sebagai salah satu teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan oleh nelayan saat ini masih dibuat oleh beberapa nelayan di Pasar Laban. Pembuatan kapal, baik kapal bagan maupun payang selama ini adalah memakai kayu yang didatangkan dari Pagai Kepulauan Mentawai dengan waktu pembuatan membutuhkan kira-kira satu minggu apabila tidak ada hambatan dalam pengerjaannya. Untuk biaya pembuatan perahu untuk 1 buah berkisar 2 jutaan. Dalam pembuatan perahu nelayan, budaya lokal sangat mempengaruhi terutama ditemui adanya tradisi-tradisi yang dilakukan sampai saat ini, seperti melakukan upacara sebelum pembuatan perahu maupun sesudah perahu selesai, yaitu memotong ayam untuk mendarahi perahu, kemudian membuat nasi kunyit, gulai ayam dan makan bersama-sama sebelum kelaut.


Masyarakat Nelayan Pasar Laban memiliki sistem pengetahuan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan aktivitas penangkapan ikan di laut. Sistem pengetahuan tersebut berupa informasi mengenai banyaknya produksi ikan di beberapa lokasi yang menyebabkan para nelayan memperoleh hasil ikan yang maksimal, yaitu di dekat tubi atau pinggir batu karang yang didiami oleh ikan-ikan kecil. Untuk ikan besar biasanya berada di tengah laut. Selain itu, pengetahuan akan kondisi cuaca dan musim sangat mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan di laut. Pengetahuan tentang kapan waktu turun ke laut dan kembali ke darat juga mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan nelayan di Pasar Laban.


Dewasa ini jumlah teknologi penangkapan ikan semakin banyak baik yang masih bersifat tradisional maupun modern dalam meningkatkan perolehan tangkapan ikan di laut. Oleh sebab itu, masyarakat nelayan lokal sangat dituntut untuk dapat mengembangkan teknologi perikanan yang lebih baik lagi melalui budaya lokal setempat supaya mereka tidak tersingkir oleh keberadaan teknologi penangkapan modern nelayan lainnya. Budaya lokal dan teknologi perikanan yang harus mereka kembangkan berupa cara penangkapan ikan yang relatif modern, pemasaran ikan dan terutama pembuatan teknologi penangkapan ikan berupa kapal/perahu yang sesuai dengan budaya masyarakat yang telah ada.


Pada masyarakat Pasar Laban, secara umum aktivitas penangkapan ikan terdiri dari membagan, memayang, memukat dan menjaring. Membagan adalah aktivitas penangkapan ikan pada malam hari dengan sebuah kapal yang disebut bagan dengan ukuran panjang antara 12 m sampai 20 m dan lebar antara 2 m sampai 4 m yang dilengkapi dengan lampu TL neon sebanyak 100-150 buah dan waring dengan anggota sebanyak 6-7 orang. Memayang adalah aktivitas penangkapan ikan pada siang hari dengan perahu yang disebut dengan payang dengan ukuran panjang antara 8-12 m dan lebar 1-2 m yang dilengkapi dengan jaring yang panjangnya sekitar 400-500 m yang beranggotakan 10-12 orang. Memukat adalah menangkap ikan yang dilakukan di tepi pantai dengan alat jaring yang beranggotakan sebanyak 5-7 nelayan. Menjaring adalah aktivitas menangkap ikan yang dilakukan di tengah laut dengan menggunakan perahu kecil yang didayung dengan anggota sebanyak 2-4 orang.


Sistem pengetahuan nelayan juga berkaitan dengan informasi mengenai kondisi cuaca dan musim ketika akan melaut, banyaknya ikan di beberapa lokasi laut dan pantangan/larangan yang harus ditaati oleh nelayan ketika aktivitas akan kelaut, berada dilaut dan kembali ke darat.


Pelaksanaan aktivitas penangkapan ikan pada masyarakat Pasar Laban banyak dipengaruhi oleh adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh para nelayan, misalnya perempuan tidak boleh ikut ke laut untuk menangkap ikan dikarenakan dapat menghalangi rezeki. Selain itu sebelum berangkat atau turun ke laut terdapat pantangan-pantangan yang diyakini oleh masyarakat, yaitu apabila sudah berangkat dari rumah dan sudah sampai di kapal maka tidak boleh kembali lagi ke rumah, berbicara yang kotor-kotor atau takabur, jangan memberikan sesuatu yang diminta oleh orang lain sewaktu kita akan berangkat., tidak boleh bersiul-siul, berteriak-teriak dan membuat keributan. Selain itu tidak boleh buang air kecil atau buang air besar di bagian depan atau kepala bagan. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan menimbulkan cuaca buruk atau badai dan juga akan menghalangi rezeki atau tidak akan mendapatkan ikan.


Hasil tangkapan ikan yang diperoleh langsung di bawa ke pasar tradisional Gaung dan diipasarkan langsung ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Namun ada juga pembeli (konsumen) yang membeli ikan langsung ke kapal. Selain itu nelayan juga menjual tangkapan kepada banyak pembeli. Di Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan ini tidak ada pasar tradisional, tetapi yang ada adalah tempat pelelangan ikan yaitu di TPI batuang, TPI gaung atau ke TPI labuang tarok yang masih berfungsi sampai sekarang dan beraktifitas selama 24 jam yang telah didirikan sejak tahun 1990. Sejak TPI ini berdiri nelayan merasakan perubahan yang terjadi dalam memasarkan ikan. Ikan yang ditangkap selalu terjual habis tidak pernah dibawa pulang. Selain itu di TPI nelayan menjual ikan ke daerah gaung atau dijemput langsung kelaut oleh pembeli. Peran TPI sudah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat nelayan.


Untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga nelayan, peran istri sangat mendukung pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari keluarga apabila suami tidak melaut. Mereka berinisiatif bekerja menambah pendapatan keluarga yang dipicu oleh kondisi buruk yang selalu dihadapi nelayan seperti pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Selain itu, pembagian hasil tangkapan ketika melaut yang dilakukan induak semang dengan para nelayan mendukung pemenuhan ekonomi rumah tangga walaupun tidak signifikan. Peran TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di batuang, TPI gaung atau ke TPI labuang tarok yang masih berfungsi sampai saat ini mampu meningkatkan ekonomi nelayan dan peran lembaga sosial yang dibentuk sendiri oleh nelayan pun dapat memberdayakan ekonomi nelayan seperti adanya tradisi Julo-Julo yang membantu ketika nelayan mengalami kesulitan keuangan.


Selain itu, dalam pemberdayaan ekonomi rumah tangga nelayan bahwa peran perempuan sangat mempengaruhi terhadap aktivitas penangkapan ikan masyarakat nelayan di Pasar Laban. Peran istri nelayan berinisiatif bekerja menambah pendapatan keluarga dipicu oleh kondisi buruk yang selalu dihadapi nelayan seperti pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung.


Untuk pemberdayaan ekonomi rumah tangga nelayan juga didukung oleh adanya lembaga sosial yang spontan berdiri atas swadaya masyarakat sendiri. Organisasi sosial atau semacam kelompok sosial yang dibentuk bersama-sama secara swadaya namun tidak tergabung dalam wadah yang formal. Wadah ini tersebut terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mendirikan. Selain itu juga terdapat tradisi julo-julo untuk membantu nelayan lain.


Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini masyarakat nelayan Pasar Laban masih membuat kapal/perahu dalam jumlah relatif sedikit, baik kapal bagan, payang maupun perahu kecil dengan ketersediaan kayu yang berasal dari Kepulauan Mentawai. Dalam pembuatan kapal/perahu tersebut, tradisi-tradisi yang ada berupa melakukan upacara sebelum pembuatan perahu maupun sesudah perahu selesai, yaitu memotong ayam untuk mendarahi perahu, kemudian membuat nasi kunyit, gulai ayam dan makan bersama-sama sebelum kelaut. Selain itu, nelayan memiliki sistem pengetahuan yang berkaitan dengan aktivitas penangkapan ikan, yaitu membagan, memayang, memukat dan menjaring dengan memanfaatkan teknologi seperti kapal/perahu, jaring, waring, jangkar, lampu TL neon dan dayung.


4 hari di pedalaman Kep.Mentawai

Ternyata...........

Jaman sekarang ini

Masih ada warga negara Indonesia

yang belum merdeka

Perjalanan satu malam dengan kapal dari pelabuhan Bungus Kota Padang menuju pulau Siberut Mentawai merupakan sebuah awal dari perjalanan yang mengasikkan sekaligus melelahkan menuju lokasi penelitian di pelosok pulau Siberut. Penelitian tentang Komunitas adat Terpencil (KAT) yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Sumatera Barat ini, hanya bisa lewati kapal laut, karena tidak adanya angkutan lain yang tersedia. Setelah perjalanan panjang satu malam, rombongan yang terdiri dari berbagai elemen dan departemen seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Biro Pembangunan, BAPPEDA Propinsi, Dinas Pariwisata, Dinas Kehutanan, Akademisi, dan LSM merapat di pagi harinya di pelabuhan Melepet. Turun dari kapal Ambu Ambu di pelabuhan Melepet, saya dan rombongan harus melanjutkan perjalanan ke pedalaman pulau Mentawai itu,tepatnya ke Desa Matotonan.


Perjalanan ke pedalaman ini merupakan suatu tantangan tersendiri dalam penelitian yang didanai oleh Dinas Sosial Sumatera Barat ini. Betapa tidak, perjalanan yang melalui sungai awalnya memang cukup lancar. Namun, setelah makin ke pelosok, semakin berat medan yang di lalui. Musim hujan memang akan lancar perjalanan, namun ketika musin kemarau, apalagi musin panas, sungai yang dilalui tidak bisa dilewati. Setidaknya, rombongan harus turun sampai 15 kali dari pompong, karena airnya dangkal. Setiap turun dari pompong, harus didorong ramai-ramai. Perjalanan yang biasa ditempuh waktu normal, 6 jam, akhirnya dicapaikan dalam waktu 10 jam. Hal yang ini disampaikan adalah untuk mencapai lokasi penelitian di desa Matotonan itu sendiri, sudah merupakan sebuah petualangan tersendiri, karena harus ditempuh dalam waktu 24 jam dari ibu kota propinsi.


Kesan pertama yang muncul ketika sampai di lokasi penelitian adalah masih ada rakyat dari bangsa ini yang belum merdeka. Betapa tidak, untuk mencapai lokasi saja dibutuhkan perjalanan panjang. Sepanjang sungai yang dilalui, terdapat Uma, tempat tinggal penduduk yang sangat memprihatinkan. Belum lagi kondisi anak-anak, yang terkesan kurang gizi, dan tidak terawat. Jelas sekali, dari segi pakaian, mereka masih pakai cawat atau kabit. Dalam konteks inilah, penelitian ini mengkaji tentang kelayakan Desa Matotonan sebagai desa dampingan dari program KAT Dinas Sosial Propinsi Sumatera Barat.


Pada pokoknya, kegiatan pemberdayaan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional pada dasarnya merupakan usaha yang ditujukan pada penyiapan kondisi masyarakat untuk melakukan perubahan sosial dan lingkungan dengan memperkenalkan nilai-nilai baru ke dalam pranata-pranata sosial masyarakat tradisional. Persoalannya kemudian nilai-nilai baru yang diperkenalkan tersebut ditolak dan ditentang oleh masyarakat tradisional karena dianggap tidak sesuai dan atau bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dalam pranata sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat setempat.


Disisi lain, keberhasilan pelaksanaan program pembangunan pada suatu masyarakat tradisional sangat berkaitan erat dengan tingkat partisipasi warga masyarakat bersangkutan, termasuk pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Rendahnya peran aktif warga masyarakat mencerminkan warga masyarakat bersangkutan tidak merasakan manfaat atau tidak sesuai dengan kebutuhan program pembangunan yang diterapkan kepada mereka.


Dengan menyadari pentingnya peran serta masyarakat tradisional untuk terlibat dalam berbagai program pembangunan maka pemahaman terhadap dimensi kehidupan sosial budaya dan lingkungan Komunitas Adat Terpencil sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan menjadi penting yang dilaksanakan melalui Studi Kelayakan. Studi Kelayakan dalam upaya Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil pada dasarnya ditujukan untuk mempersiapkan warga Komunitas Adat Terpencil dapat beradaptasi dengan segala aspek pembangunan secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan beragamnya karakteristik sosial budaya, lingkungan demografi serta rencana pembangunan tata ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.


Kegiatan studi kelayakan juga berusaha menciptakan kondisi agar warga Komunitas Adat Terpencil mampu menyerap niali-nilai baru yang muncul bersamaan dengan program-program pembangunan yang diterapkan kepada mereka tanpa harus melepaskan nilai-nilai budaya tradisional yang sudah menjadi akar budaya mereka. Pada gilirannya, Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil diarahkan untuk mendorong, memfasilitasi dan mengakomodasi proses integrasi sosial mereka kedalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat yang lebih luas, sehingga mampu menghadapi perkembangan zaman. SEMOGA

Economic Anthropology

Purpose

Main purpose is to provide students with a social scientific perspective to analyse decisions and behaviour of economic agents who are embedded in the networks of social relationships and cultural influences. In particular, the course aims to familiarise with anthropological concepts, teach skills and fieldwork techniques, and basics of qualitative methodology; to give some training in interdisciplinary argumentation.

Content

The course covers main topics of Economic anthropology, such as household economy, time budgeting, work and home relation, gender and economic institutions, forms of informal economy, consumption, socioeconomics, anthropology of organisational behaviour, crosscultural business transactions, social network theory, trust, non-monetary forms of exchange, the role of social norms and cultural values in influencing economic behaviour. In addition, through project work and seminars students learn to apply the method of participant observation, ethnographic techniques of data collection, in-depth interviews, and use qualitative methods. Special emphasis is laid on conceptually alternative and flexible thinking in studying complexities of organisational life and everyday economic behaviour.

Economic anthropology is a scholarly field that attempts to explain human economic behavior using the tools of both economics and anthropology. It is practiced by anthropologists and has a complex relationship with economics. There are three major paradigms within the field of economic anthropology: formalism, substantivism and culturalism.


Formalism


The formalist model is the one most closely linked to neoclassical economics, defining economics the study of utility maximisation under conditions of scarcity. As an attempt to use neoclassical theory to analyze subjects outside of its traditional purview, formalist economic anthropology can be linked with new institutional economics. This approach usually makes the following central assumptions:

1. Individuals pursue utility (or preferenca) maximisation by choosing between alternative means. They will always choose alternatives that maximise their utility (or that yields a given amount of utility for the least possible amount of inputs or effort required), often within specific informational or transaction cost constraints.


2. Individuals will do so based on rationality, using all available information to measure the cost and utility of each means and considering the opportunity costs involved compared to spending their time and effort on other utility maximising pursuits. Lack of information can be modelled as information asymmetry or as a transaction cost. Whether by conscious forethought instincts, or traditions, individuals are able to undertake the relevant calculations. In order to make rational choices individuals will seek to obtain all relevant information up to a point where the opportunity cost of information-gathering equals the additional utility gained from having been able to make better informed choices.


3. All individuals live under conditions of scarcity of means while at the same time having unlimited wants.


4. Underlying individuals' pursuit of utility maximisation is the principle of diminishing marginal utility, meaning that additional resources allocated towards a particular end will tend to achieve that end less and less efficiently. Rational actors will allocate their resources first towards those opportunities that provide the greatest payoff for them, and as opportunities get used up, allocate them towards progressively less efficient ends.


5. Some formalists use game theory as a model of rational behaviour under specific cultural or interpersonal constraints. Formalists such as Firth and Schneider assert that the neoclassical model of economics can be applied to any society if appropriate modifications are made, arguing that the principles outlined above have universal validity. All human cultures are therefore a collection of "choice making individuals whose every action involves conscious or unconscious selections among alternatives means to alternative ends" (Burling, 1962, quoted from Prattis, 1982:207), whereby the ends are culturally defined goals. Goals refer not only to economic value or financial gain but to anything that is valued by the individual, be it leisure, solidarity or prestige.In the context of hunter-gatherer and Neolithic cultures, formalist models usually must deal with high transaction cost and are thus sometimes simplified to a model of bilateral monopoly.


Since a formalist model usually states what is to be maximized in terms of preferences, which often but not necessarily include culturally expressed value goals, it is deemed to be sufficiently abstract to be capable of explaining human behaviour in any context. A traditional assumption many formalists borrow from neoclassical economics is that the individual will make rational choices based on full information, or information that is incomplete in a specific way, in order to maximize whatever that individual considers being of value. While preferences may vary or change, and information about choices may or may not be complete, the principles of economising and maximising still apply.


The role of the anthropologist may then be to analyse each culture in regards to its culturally appropriate means of attaining culturally recognized and valued goals. Individual preferences may differ from culturally recognized goals, and under economic rationality assumptions individual decisions are guided by individual preferences in an environment constrained by culture, including the preferences of others. Such an analysis should uncover the culturally-specific principles that underlie the rational decision-making process. In this way, economic theory has been applied by anthropologists to societies without price-regulating markets (e.g. Firth, 1961; Laughlin, 1973). Besides cultural values, formalists may also use evolutionary psychology to help model preferences.


Substantivism


The substantivist position, first proposed by Karl Polanyi in his work The Great Transformation, argues that the term 'economics' has two meanings: the formal meaning refers to economics as the logic of rational action and decision-making, as rational choice between the alternative uses of limited (scarce) means. The second, substantive meaning, however, presupposes neither rational decision-making nor conditions of scarcity. It simply refers to study of how humans make a living from their social and natural environment. A society's livelihood strategy is seen as an adaptation to its environment and material conditions, a process which may or may not involve utility maximisation. The substantive meaning of 'economics' is seen in the broader sense of 'economising' or 'provisioning'. Economics is simply the way society meets their material needs.


Polanyi's term "great transformation" refers to the divide between modern, market-dominated societies and non-Western, non-capitalist preindustrial societies. Polanyi argues that only the substantive meaning of economics is appropriate for analysing the latter. Without a system of price-making markets formal economic analysis does not apply, for example in centrally planned economies or preindustrial societies. Individual choice in such places is not so much based on the maximisation of economic profit but rather on social relationships, cultural values, moral concerns, politics or religion. Production in most peasant and tribal societies is for the producers, also called 'production for use' or subsistence production, as opposed to 'production for exchange' which has profit maximisation as its chief aim. These types differ so radically that no single theory can describe them all.


According to Polanyi, in modern capitalist economies the concepts of formalism and substantivism coincide since people organise their livelihoods based on the principle of rational choice. However, in non-Capitalist, pre-industrial economies this assumption does not hold. Unlike their Western capitalist counterparts, they are not based on market exchange but on redistribution and reciprocity. Reciprocity is defined as the mutual exchange of goods or services as part of long-term relationships. Redistribution implies the existence of a strong political centre such as kinship-based leadership, which receives and then redistributes subsistence goods according to culturally-specific principles. In societies that are not market-based reciprocity and redistribution usually occur together. Conversely, market exchange is seen as the dominant mode of integration in modern industrial societies, while reciprocity may continue in family and inter-household relations, and some redistribution is undertaken by the state or by charitable institutions. Each of these three systems of distribution requires a separate set of analytical concepts.


Another key concept in substantivism is that of 'embeddedness'. Rather than being a separate and distinct sphere, the economy is embedded in both economic and non-economic institutions. Exchange takes place within and is regulated by society rather than being located in a social vacuum. For example, religion and government can be just as important to economics as economic institutions themselves. Socio-cultural obligations, norms and values play a significant role in people's livelihood strategies. Consequently, any analysis of economics as an analytically distnct entity isolated from its socio-cultural and political context is flawed from the outset. A substantivist analysis of economics will therefore focus on the study of the various social institutions on which people's livelihoods are based. The market is only one amongst many institutions that determine the nature of economic transactions. Polanyi's central argument is that institutions are the primary organisers of economic processes. The substantive economy is an "instituted process of interaction between man and his environment, which results in a continuous supply of want satisfying material means" (1968:126).


The concept of embeddedness has been very influential in the field of economic anthropology. In his study of Chinese ethnic business networks in Indonesia, Granovetter found individual's economic agency embedded in networks of strong personal relations. In processes of clientelization the cultivation of personal relationships between traders and customers assumes an equal or higher importance than the economic transactions involved. Economic exchanges are not carried out between strangers but rather by individuals involved in long-term continuing relationships. Granovetter describes the neo-liberal view of economic action as separating economics from society and culture, thereby promoting an 'undersocialized account' that atomises human behavior: "Actors do not behave or decide as atoms outside a social context, nor do they adhere slavishly to a script written for them by the particular intersection of social categories that they happen to occupy. Their attempts at purposive action are instead embedded in concrete, ongoing systems of social relations." (1985:487).


Culturalism


For some anthropologists the substantivist position does not go far enough in its criticism of the universal application of Western economic models on societies all around the globe. Gudeman, for example, argues that the central processes of making a livelihood are culturally constructed. Therefore, models of livelihoods and related economic concepts such as exchange, money or profit must be analyzed through the locals' ways of understanding them. Rather than devising universal models rooting in Western understandings and using Western economic terminologies and then applying them indiscriminately to all societies, one should come to understand the 'local model'. In his work on livelihoods Gudeman seeks to present the "people's own economic construction" (1986:1); that is, not just examining the cultural construction of values as in which products people like to buy and how much they value leisure, but people's own conceptualizations or mental maps of economics and its various aspects, i.e. their understanding of concepts such as exchange, property or profit. His description of a peasant community in Panama reveals that the locals did not engage in exchange with each other in order to make a profit but rather viewed it as an "exchange of equivalents", with the exchange value of a good being defined by the expenses spent on producing it. Only outside merchants made profits in their dealings with the community, and it was a complete mystery to the locals how they managed to do so...


Gudeman not only rejects the formalist notion of the universal 'economic man'; he also criticizes the substantivist position for imposing their universal model of economics on all preindustrial societies and so making the same mistake as the formalists. While conceding that substantivism rightly emphasises the significance of social institutions in economic processes, Gudeman considers any derivational model that claims to be of universal nature, be it formalist, substantivist or Marxist, to be ethnocentric and essentially tautological. In his view they all model human relationships as mechanistic processes by taking the logic of natural science based on the material world and applying it to the human world. Rather than to "arrogate to themselves a privileged right to model the economies of their subjects", anthropologists should seek to understand and interpret local models (1986:38). Such local models may differ radically from their Western counterparts. To quote Gudeman: "Gaining a livelihood might be modelled as a causal and instrumental act, as a natural and inevitable sequence, as a result of supernatural dispositions or as a combination of all these." (1986:47). For example, the Iban only use hand knives to harvest rice. Even though the use of sickles would speed up the harvesting process, their concern that the spirit of the rice may flee is greater than their desire to economize the harvesting process.


Gudeman brings post-modern cultural relativism to its logical conclusion. Generally speaking, however, culturalism can also be seen as an extension of the substantivist view, with a stronger emphasis on cultural constructivism, a more detailed account of local understandings and metaphors of economic concepts, and a greater focus on socio-cultural dynamics than the latter (cf.Hann, 2000).Culturalists also tend to be both less taxonomic and more culturally relativistic in their descriptions while critically reflecting on the power relationship between the ethnographer (or 'modeller') and the subjects of his or her research. While substantivists generally focus on institutions as their unit of analysis, culturalists lean towards detailed and comprehensive analyses of particular local communities. Both views agree in rejecting the formalist assumption that all human behaviour can be explained in terms of rational decision-making and utility maximisation.


References


  1. Prattis, J. I. (1982). "Synthesis, or a New Problematic in Economic Anthropology". Theory and Society 11: 205-228.
  2. Polanyi, K. (1968). The Economy as Instituted Process. in Economic Anthropology E LeClair, H Schneider (eds) New York: Holt, Rinehart and Winston.
  3. Granovetter, M. (1985). "Economic action and social structure: the problem of embeddedness". The American Journal of Sociology 91: 481-510.
  4. Gudeman, S. (1986). Economics as culture : models and metaphors of livelihood. London: Routledge.
  5. Hann, C. M. (2000). Social Anthropology. London: Teach Yourself.
  6. Plattner, S. (1989). Economic Anthropology.
  7. Gunnar Heinsohn (2003): Karl Polanyi's Failure to Exploit his Success: Why the Controversy between Substantivists and the Neoclassical Protagonists (Formalists) of an Eternal and Universal Market was Never Solved. (Paper presented at an International Symposium on the economic Tole of Property at the University of Bremen, 28-30 Nov. 2003); see also Gunnar Heinsohn, Otto Steiger (2007): Money, Markets and Property. In: Giacomin, Alberto and Marcuzzo, Maria (Eds.): Money and Markets. A doctrinal approach. New York: Routledge, pp. 59-79; G. Heinsohn (1984): Privateigentum, Patriarchat, Geldwirtschaft. Eine sozialtheoretische Rekonstruktion zur Antike. Frankfurt/M.: Suhrkamp; G. Heinsohn, Otto Steiger (1996): Eigentum, Zins und Geld. Ungelöste Rätsel der Wirtschaftswissenschaft. Reinbek: Rohwolt (English: "Property, Interest and Money", London: Routledge, forthcoming)
  8. Otto Steiger (2007): Property Rights and Economic Development: Two Views. Marburg: Metropolis (forthcoming)

Jumat, 08 Agustus 2008

Jurnal PUITIKA Sastra Indonesia, FSASTRA Unand

Konsepsi dan Nilai Budaya Lokal Terhadap Pelestarian Kawasan Hutan

Abstrak

Konsepsi-konsepsi masyarakat lokal terhadap tindakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai konsekuensi dari nilai-nilai budaya lokal setempat yang mereka miliki. Masyarakat lokal tersebut adalah kelompok masyarakat peladang yang selalu selalu dituding sebagai kelompok masyarakat yang merusak hutan, dengan cara menebang dan membakar tanaman hutan sehingga persoalan hutan dewasa ini semakin ramai diberitakan dimana-mana terkait dengan persoalan bencana alam, seperti bencana banjir, longsor dan banjir bandang. Namun disisi lain, bahwa terdapat pandangan bahwa terdapat pengesahan secara budaya oleh kelompok pelakunya. Masyarakat pada prinsipnya memiliki kearifan tersendiri dalam membaca lingkungan yang dimilikinya, sehingga apapun aktifitas yang dilakukan dalam membuka dan mengelola lahan tidak merusak kawasan hutan.
Konsepsi yang berkembang dalam sistem pengetahuan masyarakat (termasuk didalamya cara dan teknologi pengelolaan lahan hutan, pantangan dan larangan) yang diujudkan dalam bentuk tata cara bagaimana mengolah dan memanfaatkan lahan diyakini dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakatnya. Model konsepsi dan kearifan lokal seperti ini disatu sisi telah melahirkan pola pembukaan dan pengelolaan lingkungan alam yang khas dari Situjuah gadang, namun sekaligus juga telah ikut menjaga ”kelestarian” lingkungan alam itu sendiri, sehingga hubungan masyarakat dengan alam tetap terintegrasi dengan baik secara simbiosis, dimana masyarakat bisa terbantu baik secara ekonomi maupun sosial dengan kondisi tersebut, sekaligus lingkungan alam juga tetap bisa dipertahankan keseimbangannya.


A. Latar Belakang

Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki kegunaan beraneka ragam baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat sosial budaya. Sumber daya alam hutan dapat menghasilkan kayu, rotan, umbi-umbian, kulit, daun, margasatwa, perlindungan tata air dan lingkungan hidup, dsb. Namun permasalahan hutan dewasa ini semakin ramai dibicarakan, salah satu diantaranya adalah semakin meluasnya lahan kritis, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. (M. Soerjani, dkk, 1983:31)
Selama ini masyarakat sekitar hutan, khususnya kelompok petani ladang sering dituding dan dipersalahkan sebagai kelompok masyarakat yang suka membuka dan mengelola kawasan hutan tanpa mempertimbangkan kerusakan yang muncul di kemudian hari. Pandangan seperti ini berangkat dari anggapan bahwa sistem perladangan yang dilakukan telah membuat kawasan hutan yang ada semakin tandus atau menjadi kawasan alang-alang (Kumolo, 1987), atau menurut Spate (Geertz, 1976), akibat perladangan telah mengakibatkan penggundulan dan erosi tanah yang serius.
Disisi yang lain, juga muncul pandangan bahwa sistem perladangan yang dilakukan dalam bentuk apapun telah memiliki pengesahan secara budaya oleh kelompok pelakunya (Dove, 1981; Wolf, 1983; Arifin, 1998). Artinya, masyarakat pada prinsipnya memiliki kearifan tersediri dalam membaca lingkungan yang dimilikinya, sehingga apapun aktifitas yang dilakukan dalam membuka dan mengelola lahan, pada prinsipnya selalu disesuaikan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam budayanya. Masalahnya, nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat (insider) sering dipaksa untuk selalu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan ukuran orang luar (outsider). Dengan demikian, pandangan bahwa aktifitas petani ladang sebagai kelompok yang selalu merusak kawasan hutan akhirnya perlu dipertanyakan kembali.

B. Perumusan masalah

Salah satu pandangan mengenai strategi pembangunan Indonesia terutama pada tingkat desa adalah proses pembangunan oleh reaksi (Colletta, 1987). Strategi seperti ini umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh pendekatan kelompok yang berkepentingan yaitu pemerintah dan agen-agen pemerintah, bukan pada sisi yang hendak diwujudkan setelah proses pembangunan itu berakhir sehingga pola pembangunan seperti itu lebih sebagai kegiatan sementara dan tidak membentuk masyarakat menjadi mandiri dan mampu meneruskan sendiri proses yang dispodorkan.
Strategi pembangunan berwawasan lingkungan (Soerjani, 1987) yakni upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya yang ada secara bijaksana dalam pembangunan dan berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Dalam hal ini strategi tersebut lebih menekankan pada partisipasi penuh masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, sehingga outsider lebih diposisikan sebagai kelompok yang lebih banyak membantu untuk pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini akhirnya menjadi penting. Pemahaman masyarakat (insider) terhadap kawasan hutan berbeda dengan pemahaman outsider. Masyarakat sekitar kawasan hutan banyak memandang kawasan hutan tersebut secara imanen dan holistik. Kawasan hutan dilihat memiliki hubungan fungsional, antara dirinya (masyarakat) dengan kawasan hutan terjalin satu kesatuan dalam ekosistem. Dengan demikian kawasan hutan tidak dikotak-kotakan dan dilihat secara berbeda sesuai dengan fungsi dan kegunaannya, tetapi lebih dilihat sebagai sebuah kesatuan kawasan yang didalamnya termasuk masyarakat itu sendiri. Karena pandangan tersebut, maka aktifitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan selalu berdasarkan kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Dengan kata lain, kebudayaan dapat menjembatani pola hubungan antara manusia dan lingkungannya. Bagaimana kebudayaan berproses dalam menjembatani pola hubungan tersebut, akhirnya lebih dikonsepkan sebagai “kearifan masyarakat” atau sering juga disebut “kearifan tradisional”.
Dalam konteks ini kearifan menghimpun konsepsi-konsepsi masyarakat tentang kawasan hutan, serta tindakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai konsekuensi dari konsepsi-konsepsi yang mereka miliki. Dengan demikian berarti, untuk melihat bagaimana kearifan sebuah masyarakat terhadap suatu kawasan hutan, kita tidak bisa meninggalkan pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi tersebut, karena tindakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan terujud sebagai hasil konsepsi yang mereka miliki. Konsepsi itu sendiri ada dalam sistem kognitif individu-individu anggota kelompoknya, yang memuat berbagai klasifikasi yang berhasil menciptakan keteraturan atas situasi disekelilingnya sehingga akhirnya mewujudkan tindakan adaptif tertentu (Ahimsah-Putra, 1986: Bennett, 1976).

C. Tinjauan Pustaka

Hubungan manusia dan lingkungan selalu dijembatani oleh kebudayaan. Lewat kebudayaan, manusia selalu berusaha menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kemampuan individu dan kelompoknya. Permasalahan yang muncul selama ini, tidak selalu tindakan-tindakan yang dimunculkan individu dan kelompok selalu memuaskan tindakan individu lain dan kelompok serta lingkungannya, begitu juga sebaliknya tindakan yang dilakukan secara kelompok (sosial) belum tentu memuaskan individu anggota kelompok serta lingkungannya. Berangkat dari hal diatas, maka pemikiran bahwa setiap individu dan kelompok akan selalu menjaga keseimbangan lingkungan (equilibrium) seperti diutarakan Alland (1975) tidak selalu benar.
Menurut Bennett (1976), tindakan individu atau kelompok akan selalu mengutamakan keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) individu atau kelompok tersebut. Dengan demikian maka upaya menjaga keseimbangan lingkungan oleh individu dan kelompok bukanlah prioritas pertama, tetapi menjadi prioritas kedua atau selanjutnya. Namun tindakan manusia tersebut akan selalu mengimplikasikan sifat kompromi, yaitu suatu arahan yang sesuai dengan struktur internal kebudayaan dan tekanan eksternal lingkungan (alam dan sosial). Karena tindakan manusia selalu menunjukkan sifat kompromistis, maka tindakan tersebut sebenarnya berproses dari rangkaian dan kontinuitas kognitifnya (Bennett, 1980). Hal ini disebabkan karena semua tindakan manusia tidak bisa dianggap akan berlaku secara otomatis, tapi melalui suatu proses yang bertahap. Setiap tahapan, manusia sanggup mengubah dan memanipulasi proses tersebut lewat sistem kognitifnya (Bennett, 1980).
Pada tahapan individual ini, manusia hanya berhadapan dengan keadaan yang bertujuan untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan atau diinginkannya. Lewat kesatuan kognitif, tindakannya lalu dikompromikan, dikomunikasikan dan ditransformasikan ke individu lain, sehingga tindakan-tindakan tersebut relatif terbagi secara bersama (sosial). Dengan demikian maka tindakan-tindakan individual pada hakekatnya adalah sosial, karena individu disatu sisi banyak dipengaruhi dan disosialisasi oleh komunalnya. Tindakan bersama atau komunal ini kemudian dijadikan sebagai alat untuk menghadapi lingkungannya sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai secara sosial. Dengan kata lain, tindakan-tindakan yang sudah disyahkan secara sosial ini, akhirnya dijadikan sebagai milik bersama dan dilekatkan dalam kognitifnya sebagai acuan serta melegitimasikan tindakan setiap individu. Dalam kajian ilmu sosial dan humaniora, sistem kognitif yang menjadi milik bersama dan dijadikan sebagai acuan serta alat pengelegitimasi tindakan-tindakan individual ini kemudian sering disebut sebagai kebudayaan (Jurnal Suluah, 2004).
Karena secara biologis dan psikis, setiap individu memiliki ciri-ciri khas dan kemampuan yang berbeda, maka kebudayaan yang diserap oleh setiap individu juga akan berbeda. Dalam operasionalnya maka tidaklah keseluruhan sistem kognitif yang berkembang dalam masyarakat atau kelompoknya akan dijadikan acuan oleh individu, tetapi cenderung akan dipilih secara selektif sesuai dengan keinginan dan kebutuhaannya. Artinya karena stimulus yang dihadapi oleh individu berbeda, kebutuhan dan keinginannya juga berbeda satu sama lain, maka cara merespon kondisi dan situasi lingkungan yang dihadapi juga akan berbeda antar individu satu dengan individu lainnya, antar kelompok satu dengan kelompok yang lain. Karena stimulus yang dihadapi akan selalu mengalami perubahan, maka menurut von-Liebenstein (1995), sistem pengetahuan (kebudayaan) ini harus terus diproduksi agar masyarakatnya tetap hidup dalam suatu hubungan yang seimbang dengan tatanan lingkungan alam dan masyarakatnya.
Pandangan kebudayaan seperti ini mengimplikasikan bahwa individu hanya dapat memilih salah satu model untuk memandu keputusan dan tindakannya pada basis pilihan yang sadar atau tidak sadar sebagai akibat kondisi lingkungan yang diterimanya. Kebudayaan dengan demikian mensuplai aturan-aturan moral (pranata sosial) yang berfungsi sebagai pemaksa kebebasan memilih model-model tindakan. Individu tidak selalu bebas menentukan pilihannya sendiri pada basis kesukaan, kepuasan, atau permintaan situasional, tetapi harus mengikuti norma-norma tertentu yang sifatnya untuk kebaikan, rectitute dan bersifat timbal balik (reciprocity) (Bennet, 1976).
Aturan-aturan moral yang disosialisasikan kepada individu kemudian mempedomani tindakan-tindakan mereka. Dalam arti kata, tindakan-tindaqkan yang diujudkan sebenarnya produk dari suatu proses budaya yang digunakan untuk mengatasi kondisi-kondisi bagi keberadaannya yang disebabkan oleh reproduksi perkembangan mereka secara selektif (Ellen, 1982). Tindakan manusia sebagai proses budaya menurut Bennett (1976) meliputi pemilihan alternatif dan pengambilan keputusan, yang berkenaan dengan mungkin atau tidak mungkinnya tingkah laku tersebut diterapkan menurut kontrol dan proses-proses sistemik yang melingkupinya. Moran (1982) melihat proses seperti ini sebagai pengaruh dari struktur logis (logical structure) yang membatasi logis tidaknya kategorisasi yang dibuat oleh pengetahuan seseorang atau sekelompok orang. Hal ini akhirnya menyebabkan tindakan-tindakan pelaku dalam membuka, mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan menjadi tindakan yang khas yang hanya dimiliki oleh masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat lainnya ( Jurnal Pusat Studi Lingkungan, 2002).

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memahami bagaimana kearifan masyarakat sekitar hutan dalam pembukaan lahan, mengelola dan memafaatkan hutan. Berangkat dari pemahaman tentang kearifan tersebut diatas tadi, maka secara lebih spesifik, tujuan penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut :
(a) Memahami bagaimana konsepsi-konsepsi masyarakat sekitar kawasan hutan tentang hutan itu sendiri, dengan cara mengidentifikasi sistem klasifikasi mereka terhadap kawasan hutan.
(b) Memahami bagaimana ujud tindakan yang dimunculkan masyarakat sekitar kawasan hutan berangkat dari konsepsi mereka tentang kawasan hutan sendiri. Dalam hal ini akan dipahami bentuk tindakan dalam pembukaan., pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
(c) Memahami bagaimana efek yang dimunculkan terhadap lingkungan akibat pola tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
E. Manfaat penelitian

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu pemecahan masalah pembangunan, khususnya persoalan pembangunan kawasan hutan yang dari hari ke hari mengalami perubahan ekosistem akibat tindakan pembukaan dan pengelolaan perladangan oleh masyarakat serta pemanfaatan sumber daya alam hutan.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam pengadaan literatur, khususnya literatur yang berhubungan dengan pembangunan kawasan hutan yang bertitik tolak kepada pemberdayaan masyarakat untuk bertindak arif terhadap hutan.
F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Nagari Situjuh Gadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota. Alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan di lokasi tersebut merupakan ke dalam wilayah kawasan hutan, namun beberapa tahun belakangan ini dengan pola budaya pembukaan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat menyebabkan terdapatnya lahan-lahan kritis. Penelitian ini menggunakan metode etnokologi, sehingga sumber data utama dalam penelitian ini nantinya lebih ditekankan pada kekuatan informasi yang diberikan oleh para informan, dengan cara mengikuti pandangan atau makna yang diberikannya sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Informan dalam penelitian ini adalah anggota masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, namun tidak tertutup kemungkinan sumber data juga didapat dari pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap kawasan hutan tersebut, seperti pihak pemerintah nagari. Pengumpulan data dilakukan lewat observasi partisipasi yang dibantu dengan wawancara secara mendalam sesuai dengan panduan wawancara. Sebagai pendukung data, peneliti juga tidak menolak data-data yang sifatnya sekunder yang mendukung penelitian ini, seperti data kependudukan, penggunaan lahan, dan sebagainya. Untuk itu peneliti akan memanfaatkan data-data dari laporan pemerintah nagari, kecamatan, maupun kabupaten serta dari instansi-instansi terkait lainnya.

G. Deskripsi Lokasi Penelitian

Nagari Situjuah Gadang merupakan salah satu nagari yang terletak dikawasan hutan dan perbukitan yang berada pada 745 meter dari ketinggian laut. Daerah ini dikelilingi oleh kawasan hutan seluas 1690 Ha. Nagari Situjuah Gadang memiliki 6 jorong, yaitu Jorong Situjuah gadang, Padang Kuning, Kaciak, Padang Jariang, Tanjuang Sumantuang dan Jorong Tanjung Bungo. Di nagari ini terdapat 4 buah suku besar, yaitu suku Piliang, Bodi nan Enam, patang Beniniak dan Bendang Melayu.
Nagari Situjuah gadang berbatasan dengan :
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Banda Alam.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kenagarian Sikabu Tanjung Aro.
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Payakumbuh.
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunuang Sago.
Nagari Situjuah terletak ± 10 km dari pusat kota dan 134 km dari ibukota Propinsi. Sebagian besar dari nagari ini terdiri dari daratan tinggi yaitu lahan kritis 310.25 Ha, dan lahan terlantar 12.2 Ha.
Jumlah penduduk nagari Situjuah Gadang pada tahun 2006 adalah 5.339 jiwa terdiri dari 2.706 jiwa laki-laki dan 2.633 jiwa perempuan, dengan 503 kepala keluarga.

H. Lahan, Hutan & Masyarakat
1. Konsepsi Masyarakat Tentang Lahan & Hutan

Masyarakat nagari Situjuh Gadang merupakan masyarakat agraris. Pada umumnya masyarakat Situjuh Gadang bekerja pada sektor pertanian antara lain bertani, berkebun sekitar 85%. Selain itu ada yang menjadi pegawai negeri, pedagang dan awak transportasi.
Masyarakat Situjuh Gadang memandang hutan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mereka. Menurut mereka hutan adalah sumber kehidupan bagi mereka, sumber air. Mereka menganggap bahwa hutan mereka ini merupakan hutan yang masih alami, maksudnya hutan mereka terlindung dari pengeksploitasian hutan seperti pembalakan liar dsb.
Mereka sangat menjaga hutan ini dengan mematuhi segala aturan dari pemerintah maupun aturan yang ada dalam masyarakat mereka. Menurut salah seorang wali jorong, bukti bahwa mereka sangat menjunjung hutan ini apabila mereka membutuhkan kayu untuk membuat rumah atau lainnya mereka takkan mau mengambil dari hutan, mereka lebih baik membeli kayu di luar daripada mengambil kayu tersebut ke hutan. Secara keseluruhan masyarakat situjuh gadang merupakan masyarakat yang sudah modern hal ini dilihat pola bertani (penggunaan pupuk/pestisida) dan kegiatan perekonomian mereka.
Hutan yang ada di nagari situjuh gadang memiliki fungsi yang vital bagi masyarakat. Menurut masyarakat binatang-binatang liar banyak berada di hutan ini seperti: harimau, kambing hutan, rusa, burung-burung, kera dsb. Selain itu binatang-binatang yang ada di hutan ada juga mengganggu masyarakat seperti babi hutan yang sering memakan dan merusakan tanaman-tanaman masyarakat. Peristiwa ini sangat membuat kesal masyarakat tetapi memang tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain mengusir dan memburu mereka.
Secara geografis, nagari Situjuah Gadang adalah sebuah daerah perbukitan yang dikelilingi oleh bukit-bukit sebagai gugusan dari Bukit Barisan yang memiliki 2 batang air, yaitu batang Air Pincuran dan batang Kuniak yang mengairi lahan pertanian sawah masyarakat. Kondisi seperti ini tentu saja membuat masyarakat desa Situjuah gadang menjadi masyarakat yang sangat akrab dengan kehidupan hutan dan mengandalkan pertanian sebagai lahan utama mata pencaharian, khususnya lebih mengandalkan pertanian ladang dan pertanian sawah.
Hutan pada masyarakat Situjuah gadang adalah suatu areal yang didalamnya tumbuh dan berkembang aneka kehidupan yang dapat menghasilkan untuk setiap kebutuhan hidup masyarakat dan areal ini dapat mereka jadikan lahan mata pencaharian. Sebagian besar, hutan yang ada di daerah penelitian ini adalah hutan belukar yang sebelumnya sudah pernah diolah dan letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Hutan ini lalu mereka buka untuk dijadikan ladang yang ditanami bermacam-macam tanaman keras seperti karet, kulit manis, atau kopi.
Dalam hal ini ladang atau dalam bahasa lokal disebut dengan polak adalah suatu tempat untuk bertani yang sifatnya tetap yang berlokasi jauh dari rumah atau pemukiman dan jenis tanamannya adalah tanaman tua seperti kopi, karet, kulit manis atau durian.
Disamping jenis lahan tersebut (polak, sosok dan sawah), masyarakat Situjuah gadang sebenarnya juga sering memanfaatkan lahan yang ada disekitar pemukiman atau pekarangan rumah. Lahan yang ada di sekitar rumah ini dalam konsep lokal sering disebut dengan parak. Fungsi parak ini sebenarnya tidak ditujukan untuk lahan produktif seperti polak dan sawah, namun tidak jarang masyarakat juga sering menanami lahan sekitar rumah ini dengan jenis tanaman ladang seperti kopi, kulit manis dan pinang. Kebanyakan lahan ini diperuntukan bagi tanaman kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti, pisang, tanaman buah-buahan (rambutan, jambu, sirsak dll), serta jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk sayur seperti ubi dan palawija.

Lahan-lahan yang ada (ladang, sawah, permukiman, dan pandam pekuburan) ini adalah lahan milik pribadi yang didapat dari warisan orangtua, keluarga, kerabat, dari hasil gadai, atau dari hasil membuka sendiri lahan hutan milik nagari. Sebagai tanda kepemilikan lahan terutama lahan perladangan, maka lahan yang ada biasanya ditandai dengan barisan kayu yang dipagarkan, atau pada sebahagian masyarakat juga melakukannya dengan takiak silang yaitu dengan memberi tanda silang pada kayu-kayu tertentu atau membuat kayu yang disilangkan pada tempat-tempat tertentu terutama di sudut-sudut ladang. Dengan cara seperti ini, maka setiap lahan garapan yang ditinggalkan cukup lama akan dapat dikenali di kemudian hari oleh pemiliknya, dan bagi peladang baru juga bisa mengenali bahwa lahan tersebut sebenarnya sudah ada pemiliknya walaupun kondisi lahan sudah menjadi semak belukar. Bagi seseorang yang terlanjur berladang di areal yang sudah dimiliki tersebut, maka dia harus memberikan ganti rugi (mambayiah utang) dengan cara membawa carano berisi sirih kepada ninik mamak pemilik ladang yang pertama sebagai tanda ucapan minta maaf.

2. Pemilihan Lokasi Lahan yang Dimanfaatkan

Lahan yang dimiliki masyarakat berupa ladang, kebun (polak/parak) dan sawah berada di sekeliling kawasan hutan. Mengenai batas-batas lahan milik masyarakat ketentuannya sudah diatur oleh pemerintahan nagari. Batas kemiringan lahan yang ada di nagari ini pada umumnya sebesar sekitar 20-30 derajat Sampai saat ini masyarakat patuh kepada ketentuan tersebut. Dalam menentukan batas lahan-lahan masyarakat di nagari ini masyarakat menggunakan tanda seperti penanaman batu di setiap batas lahan atau dengan menanam pohon tertentu.
Bagi masyarakat Situjuah gadang, lahan yang boleh ditanami atau dijadikan ladang adalah lahan milik pribadi, sementara lahan milik kaum biasanya dijadikan untuk pekuburan. Lokasi lahan garapan yang dipunyai penduduk ini ada di dalam hutan, dimana jarak terdekat apabila berjalan kaki hanya berjarak kira-kira 15 menit perjalanan. Namun juga banyak ditemui lahan garapan penduduk dimana mereka harus berjalan kaki sampai kira-kira 2 jam, bahkan juga ditemukan jarak lahan yang sampai 5 jam perjalanan kaki. Ladang terdekat biasanya ladang-ladang yang telah dipunyai sejak lama oleh keluarga tersebut, sementara ladang yang berjarak jauh biasanya adalah ladang-ladang baru yang dimiliki oleh kaum dan desa setempat.
Lahan ladang ini kebanyakan adalah lahan yang telah diolah dari generasi ke generasi orangtua atau keluarga yang telah ada sebelumnya, walaupun ada lahan-lahan garapan baru kecenderungannya lokasinya sudah berada jauh di dalam hutan. Lokasi lahan garapan sudah masuk jauh ke dalam hutan ini cenderung dilakukan karena semakin terbatasnya lahan garapan yang ada dekat dengan pemukiman, sehingga tidak ada lahan lain lagi yang akan dibuka. Karena ladang penduduk banyak yang berada di sekitar dan di atas bukit, maka lahan ladang yang dimiliki, kebanyakan kondisinya berbentuk miring dan hanya sedikit sekali yang datar. Walaupun demikian, karena dianggap sebagai sebuah tradisi dimana lahan ladang memang kebanyakan miring, maka lokasi berladang cenderung selalu berada pada daerah-daerah dengan kemiringan antara 300 sampai 600.
Berkenaan dengan luas lahan, sangat ditentukan sekali dengan kemampuan pemiliknya dalam menggarap lahan tersebut. Dengan kondisi lahan yang berbukit (miring), lokasi yang relatif jauh, serta permukaan awal lahan yang berhutan lebat, maka luas kepemilikan lahan pada awalnya hanya berkisar antara 0,25 ha sampai 0,50 ha. Namun setelah lahan diolah, dengan pertimbangan tertentu, maka luas lahan yang dimilik rata-rata berkisar 1 ha sampai 2 ha untuk satu kepala keluarga. Luas lahan ini biasanya dipertimbangkan antara jauhnya lokasi dan tenaga yang dikeluarkan dengan hasil panen yang diharapkan, sehingga dengan luas lahan tersebut diperkirakan tidak akan rugi untuk membuka dan mengolah lahan tersebut.
Dilain pihak, dimana lahan tersebut secara kepemilikan adalah milik bersama atau milik desa, dan akan dibuka (diolah) secara bersama, maka luas lahan yang harus dimiliki oleh seorang peladang dilakukan dengan cara kesepakatan bersama. Artinya, luas lahan masing-masing peladang relatif sama, dan posisi ladang juga dikondisikan secara bersama. Misalnya lahan yang ada akan dibuka secara bersama oleh 5 orang peladang. Maka 5 orang peladang ini akan melakukan kesepakatan yang biasanya luas lahan yang ada akan dibagi menjadi 5 dengan luas yang relatif sama, begitu juga dengan posisi arah ladang, serta dimana si A atau B harus berladang, akan sangat ditentukan oleh kesepakatan tersebut, bukan berdasarkan kemampuan individu peladang dalam mengolah lahan.

3. Jenis Tanaman Yang Dimanfaatkan

Pada umumnya masyarakat Situjuh Gadang berladang sawah dan berkebun tanaman-tanaman antara lain: cabe, tembakau, cengkeh, pisang, kopi, kulit manis. Untuk berladang sawah masa pengolahan pada umumnya memakan waktu selama 4-6 bulan, durasi bulanan ini juga terjadi pada penanaman cabe dan tembakau. Sedangkan untuk berladang tanaman-tanaman keras seperti kayu manis dsb memakan masa bertahun-tahun bahkan ada yang bisa mengambil hasil sampai belasan tahun. Lahan-lahan ini seperti di masyarakat Minangkabau pada umumnya dimiliki oleh suku dan sebagian kecil saja yang dimiliki oleh individu. Masyarakat luar dari nagari ini memiliki akses juga untuk memiliki lahan dan mengelolanya, hal ini bisa terjadi apabila memang ada warga yang menjual lahannya.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada masyarakat Situjuah gadang, walaupun mereka memiliki lahan persawahan, lahan non sawah seperti kebun dan perladangan dengan demikian tetap harus ada, karena lahan ini lebih diperuntukkan sebagai lahan pemenuhan kebutuhan lain diluar kebutuhan makanan pokok. Artinya mengolah lahan perladangan atau non sawah, tidak akan pernah berhenti selama tanaman padi belum memiliki nilai jual dalam tradisi mereka. Untuk itu, maka ketika kebutuhan beras dianggap mencukupi, maka lahan persawahan cenderung akan dijadikan lahan untuk jenis tanaman jneis palawija seperti cabe, kacang tanah, dan jenis palawija lainnya. Sementara pekarangan diperuntukkan untuk jenis tanaman buah-buahan, pisang, jengkol dan lain-lainnya yang sifatnya lebih diperuntukkan bagi kebutuhan rumah tangga. Sementara lahan perladangan dimanfaatkan untuk tanaman bernilai jual tinggi seperti kopi, kulit manis, karet atau kelapa sawit, bahkan sebuah lahan akan cenderung ditanami semua jenis tanaman tersebut.
Berkenaan dengan penentuan jenis tanaman perladangan, masyarakat Situjuah gadang masih sangat dipengaruhi oleh sistem pengetahuan mereka tentang jenis tanaman yang bernilai ekonomi atau bernilai jual tinggi. Sebahagian besar masyarakat sebenarnya telah mengenal beragam jenis tanaman berpeluang ekonomi tinggi seperti pinang dan kelapa sawit, akan tetapi karena jenis tanaman seperti ini adalah jenis tanaman baru dalam budaya-ekonomi mereka, sehingga pola penanaman, perawatan dan pengolahan masih belum membudaya. Akibatnya jenis tanaman yang bertahan dan umum dilakukan di lahan-lahan yang ada, masih terbatas pada jenis tanaman yang sudah dibudidayakan oleh generasi-generasi sebelum mereka yaitu jenis tanaman karet, kopi, dan kayu manis.
Jenis tanaman kulit manis sebenarnya adalah jenis tanaman yang muncul belakangan sebagai dampak dari pola ekonomi yang diterapkan. Artinya jenis tanaman ini bukanlah jenis tanaman yang ditemukan pada pola perladangan generasi-generasi sebelum mereka, tetapi muncul sebagai sambutan kebutuhan pasar. Akan tetapi karena cara tanam, pola pemeliharaan dan pengolahan tidak terlalu berbeda dengan jenis tanaman karet, maka jenis tanaman kulit manis sedikit mudah diterima dan dibudidayakan oleh masyarakatnya, walaupun pola penanaman relatif masih mengikuti pola penanaman jenis tanaman karet.

4. Cara dan Teknologi Pengelolaan Lahan

Pada tahun 1930an, Pada masyarakat Situjuah Gadang pembukaan lahan dalam bahasa lokal dikenal dengan Manaruko, umumnya dilakukan dengan cara tebang-bakar. Sebelumnya dilakukan perintisan dan pemilihan lokasi yang dianggap tepat untuk melakukan perladangan, untuk kemudian apabila dianggap sudah tepat, maka dilakukan pemancangan atau memberi patokan akan batas-batas ladang yang akan dibuka (dilambeh). Sebelum dirambah atau dibersihkan, terlebih dahulu peladang akan minta izin pada makhluk-makhluk halus penghuni lahan dengan cara berdoa dan membakar kemenyan. Biasanya yang memimpin doa dan membakar kemenyan dimintakan pada orang-orang yang “ditua-kan”, yaitu orang-orang yang dianggap punya pengetahuan dan kelebihan walaupun dari segi umur ia masih muda. Untuk lahan-lahan yang dimiliki desa atau kaum, dengan demikian hanya penduduk kaumnya atau penduduk asli desa tersebut yang berhak membuka lahan tersebut. Pendatang bisa mengolah lahan yang ada dengan syarat harus menjadi penduduk asli terlebih dahulu yang biasanya dilakukan dengan cara upacara penerimaan oleh kaum atau desa dan menyembelih ayam yang dihadiri oleh ninik mamak setempat.
Apabila syarat awal pembukaan lahan sudah terpenuhi, maka pembukaan lahan akan diawali dengan menebangi pohon-pohon dan semak belukar yang ada di atas lahan (melambeh). Dalam membuka lahan, alat utama yang digunakan adalah kapak (parang) dan beliung. Parang (kapak) digunakan untuk merambah pohon-pohon kecil atau semak-semak yang ada di bawah pohon-pohon besar. Sementara beliung digunakan untuk menebang pohon-pohon besar. Khusus beliung, sengaja dibuat dengan tangkai yang panjang dimana bagian tengahnya agak kecil, dengan pemikiran bahwa bentuk seperti ini akan lebih mudah diayunkan (ngeper) sehingga dianggap akan meringankan pekerjaan penebangan kayu. Dalam perkembangan kemudian, terutama bagi peladang yang relatif mampu, ada juga yang menggunakan mesin sinso, tetapi karena alat ini terbatas dan dimiliki oleh satu dua orang saja, maka penggunaan alat ini biasanya dengan cara mengupah, sehingga terasa relatif mahal dan menambah biaya bagi peladang yang tidak mampu. Waktu pembukaan lahan dengan cara seperti ini membutuhkan waktu lebih kurang 2 sampai 3 bulan.
Setelah perambahan dan penebangan kayu dilakukan, maka lahan dibiarkan sampai beberapa bulan agar semak-semak dan kayu-kayu yang ditebang relatif telah mengering dan membusuk, lalu lahan tersebut dibakar. Dalam melakukan pembakaran, pertama kali mereka harus membakar bagian tepi lahan sampai habis kemudian dilanjutkan dengan bagian tengah lahan sampai habis, dimana ini dilakukan untuk menjaga kebakaran terhadap lahan orang lain. Setelah dilakukan pembakaran, biasanya tanah tersebut dibiarkan dibiarkan untuk beberapa minggu agar abu hasil pembakaran dianggap telah meresap ke dalam tanah, baru setelah itu diolah dengan menggunakan pangkuah (cangkul) untuk menanam tanaman keras maupun muda. Untuk jenis tanaman kopi, karet, kelapa sawit, maka tanah yang ditanam harus diberi lubang sebanyak yang mereka inginkan dan menyediakan bibit-bibit yang berumur 10 bulan dan bibit tersebut dimasukkan ke dalam lubang tersebut dengan padat supaya menjaga tidak mati dan selama 3 bulan sekali dipupuk.
Namun dalam banyak kasus perladangan di masyarakat Situjuah gadang, lahan perladangan yang telah dibakar untuk pertama sekali akan ditanami dengan jenis padi ladang (padi gogo), setelah padi ladang panen dan dianggap bisa memenuhi kebutuhan keluarga peladang, maka ladang akan ditanami tanaman pokok seperti kopi, dan kulit manis. Ketika aktifitas perladangan mulai menurun untuk jenis tanaman yang butuh perawatan intensif atau seorang peladang mulai jenuh dengan lokasi perladangannya, maka biasanya masyarakat akan mengalihkan isi perladangannya dengan jenis tanaman karet. Tanaman karet ini dianggap jenis tanaman yang tidak butuh perawatan khusus, tetapi bisa dimanfaatkan kapan saja ketika masyarakat membutuhkan, disamping juga dipakai sebagai tanda bahwa areal masih dimiliki oleh orang lain.
Disamping itu juga ditemukan sistem pengolahan ladang dengan membagi lahan-lahan pengolahan, biasanya dibagi atas 3 atau 4 petak. Pengolahan pertama dilakukan di petak pertama dengan menanaminya padi gogo yang dilanjutkan dengan tanaman cabe, untuk kemudian baru ditanami dengan tanaman keras seperti karet dan kopi. Setelah lahan pertama dianggap menghasilkan panen cukup baik, petak kedua dibuka dengan menanam padi yang dilanjutkan dengan tanaman lado dan terakhirnya baru ditanam dengan tanaman keras (karet dan kopi). Begitu seterusnya sampai petak terakhir juga dibuka dan diolah. Pola seperti ini dilakukan terutama pada lahan perladangan yang relatif luas sementara tenaga terbatas, disamping adanya pemikiran untuk menjaga kesuburan tanah, karena lahan yang terlalu sering ditanami jenis tanaman yang sama dianggap akan cepat menghabiskan kesuburan tanahnya, sehingga perlu dilakukan pertukaran jenis tanaman dan lahan pengolahan.
Dewasa ini, pembukaan lahan sawah maupun lahan perladangan mengalami perubahan, dimana lahan sawah biasanya sudah ada dan dimiliki oleh generasi sekarang. Sedangkan untuk lahan ladang, pembukaan lahan hanya berkisar antara menyaingi dan menanam saja, tanpa diperlukan tehnik-tehnik khusus.

5. Upacara dan Pantangan dalam Pembukaan Lahan

Dalam pembukaan dan pengelolaan lahan perladangan di sekitar kawasan hutan, di masyarakat Situjuah Gadang juga mengenal upacara-upacara dan pantangan-pantangan yang selama ini masih tetap dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Masyarakat masih mempercayai akan adanya “makhluk” penunggu dan penjaga lahan yang tidak diolah. Untuk itu maka maka perlu dilakukan upacara ketika dilakukan pembukaan lahan tersebut.
Berkenaan dengan aktifitas perladangan ditemui larangan-larangan seperti : (1) larangan untuk memotong atau mengganggu takok (tonggak batas) ladang orang lain, (2) larangan mengambil bagian lahan tetangganya, (3) larangan membuat ladang yang tidak searah dengan ladang-ladang lainnya, (4) larangan untuk menebang kayu yang tumbuah di ulu guntuang, yaitu kayu yang tumbuh di dekat rawa-rawa. Biasanya jenis kayu ini adalah batang beringin dan kayu gadis. (5) bagi kakak beradik, maka ladangnya harus bersebalahan satu sama lain, dan (6) apabila salah seorang anggota kelompok tidak sanggup meneruskan ladangnya (mundur ditengah jalan), maka semuanya harus mundur. Apabila larangan dan keharusan ini dilanggar, maka secara kelompok, mereka yang melanggar akan dikenai dengan 1 ekor kambing dan 2 sak semen atau sejumlah uang dengan besar denda material tersebut. Kambing ini akan dimasak dan dimakan secara bersama di surau, sementara semen dipakai untuk memperbaiki surau, lalu diadakan doa bersama memohon ampun pada Tuhan atas pembatalan dan pelanggaran janji kepada kelompok tersebut.
Ketika seseorang memasuki hutan, juga berpantang untuk tidak boleh makan sambil berjalan-jalan, karena dipercayai akan mengundang binatang-binatang buas menghampiri dirinya. Juga ditemukan larangan bagi wanita hamil (terutama hamil anak pertama) untuk masuk hutan karena dipercayai akan mengakibatkan datangnya harimau karena mencium bau wangi dari tubuh wanita hamil tersebut.
Sementara dalam pengelolaan sawah juga sering ditemukan adanya pantangan dan larangan yang juga masih dipercayai penduduk, antara lain khusus hari Jum’at dipakai sebagai hari istirahat atau hari tidak bekerja. Pantangan ini walau tidak tertulis, namun diyakini dan dipatuhi oleh sebahagian besar penduduk, karena ada anggapan bahwa hari Jum’at tersebut adalah hari untuk beribadah. Apabila pada hari Jum’at tersebut, penduduk tetap melakukan aktifitas pertanian (baik sawah maupun ladanag) seperti menanam, merawat, panen, atau menjemur padi atau kopi, maka dipercayai akan ada bencana dan gangguan yang menimpa dirinya. Kemudian juga tidak boleh menanam pisang, cabe dan terong di daerah tanjung karena diyakini akan mengakibatkan tanah di tepi tanjung akan longsor. Secara berkelompok, masyarakat Situjuah gadang juga sering melakukan upacara “mandoa tahunan” ketika panen padi selesai. Acara ini dilakukan di surau dengan memotong kambing, kegiatan ini diikuti oleh semua warga, dan uang untuk melakukan acara tersebut berasal dari iuran para penduduk.

I. Konsepsi Masyarakat Tentang Pelestarian Hutan

Bagi masyarakat Situjuah Gadang, konsep pelestarian lingkungan lebih dilihat sebagai upaya menjaga kawasan hutan agar tetap bisa dimanfaatkan dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Berdasarkan konsepsi tersebut maka menurut mereka tidak ada larangan untuk mengolah lahan dimana dan kapan saja selagi cara pemanfaatannya tidak melanggar aturan-aturan main yang berkembang dalam masyarakatnya.
Aturan-aturan tersebut diatas biasanya berbentuk pantangan-pantangan atau keharusan ketika melakukan aktifitas tertentu di hutan serta ketentuan-ketentuan dalam pembukaan dan pengolahan lahan. Dalam sistem pengetahuan masyarakatnya, konsepsi pelestarian juga ditunjukkan ketika mengolah lahan berupa luas lahan dan pertukaran isi ladang dengan jenis tanaman tertentu. Jarang ditemukan seorang peladang akan mengolah dan membuka lahan perladangan lebih dari satu lokasi dengan luas areal lebih dari 2 hektar. Artinya, setiap peladang cenderung hanya akan mengerjakan satu areal perladangan sampai areal tersebut dianggap tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kebutuhan mereka karena kesuburan tanah yang dianggap sudah mulai berkurang. Dalam hal ini kesuburan tanah akan ditandai dengan panen yang dianggap cukup memuaskan sesuai dengan ukuran umum yang berkembang di masyarakat.
Cara lain yang dilakukan masyarakat untuk menyuburkan tanah adalah dengan membiarkan areal lahan tersebut ditumbuhi semar belukar atau dengan menghutankan kembali areal tersebut. Cara menghutankan kembali atau membiarkan areal lahan menjadi semak belukar inilah yang dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai cara melestarikan hutan. Setelah dianggap sudah menjadi hutan kembali, yang ditandai semakin banyak dan tingginya pohon-pohon di atas areal tersebut, maka berarti lahan tersebut dianggap sudah cukup bagus untuk dijadikan ladang. Jenis tanaman semak lalu dibersihkan dan dilakukan pembakaran. Abu pembakaran ini dianggap masyarakat sebagai cara lain untuk melakukan pemupukan secara alami. Setelah ladang dianggap tidak cukup baik lagi, maka untuk kemudian lahan akan dibiarkan untuk menjadi hutan kembali, demikian seterusnya.
Karena konsepsi pelestarian dilihat sebagai areal hutan yang bermenfaat secara terus menerus, maka areal hutan juga terbuka untuk pengambilan kayu. Namun pengambilan kayu dalam konsepsi pelestarian masyarakat ini bukan pengambilan dalam jumlah besar seperti yang sering dilakukan kelompok HPH. Pengambilan kayu sesuai dengan kebutuhan hidup mereka (untuk rumah) dianggap bukan perusakan hutan, tetapi apabila pengambilan kayu tersebut memang ditujukan untuk dijual dan diambil dalam jumlah besar, masyarakat menganggapnya bukan cara pelestarian hutan lagi. Berangkat dari konsepsi tersebut, maka menurut masyarakat, masih wajar apabila penduduk mengambil kayu di hutan untuk kebutuhan hidup mereka dan menganggapnya bukan perusak hutan.


J. Kesimpulan

Masyarakat Situjuah Gadang adalah satu masyarakat yang mengakui dirinya sebagai komunitas masyarakat Minangkabau. Masyarakatnya tinggal di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh kawasan hutan. Kondisi ini menyebabkan masyarakatnya menjadi sangat akrab dengan kehidupan pegunungan dan banyak mengandalkan lahan hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Ini terlihat dari andalan mata pencaharian mereka yang sebagian besar lebih pada pertanian ladang dan sawah.
Disisi lain keakraban terhadap kondisi lingkungan alam demikian, juga menyabkan dalam system pengetahuan mereka berkembang konsepsi-konsepsi berkenaan dengan cara memandang, memanfaatkan dan mengolah lingkungan alam itu sendiri. Konsepsi-konsepsi tentang alam ini pada prinsipnya tidak berdiri sendiri, tetapi akan selalu terkait dan terintegrasi dengan elemen lain di luar konsepsi itu sendiri, yang diperoleh lewat proses belajar antar anggota komunitasnya maupun dengan individu diluar komunitasnya. Proses terintegrasinya konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam masyarakat inilah kemudian sering disebut dengan istilah Kearifan Lokal/Kearifan Tradisional.
Di masyarakat Situjuah Gadang memanfaatkan jenis lahan tersebut, yaitu ladang (polak), dan sawah. Selain itu, memanfaatkan lahan yang ada disekitar pemukiman atau pekarangan rumah yang dalam konsep lokal sering disebut dengan parak. Fungsi parak ini sebenarnya tidak ditujukan untuk lahan produktif seperti polak dan sawah, namun tidak jarang masyarakat juga sering menanami lahan sekitar rumah ini dengan jenis tanaman ladang seperti kopi, kulit manis dan pinang dan lahan pekarangan ditanami tanaman-tanaman seperti, pisang, tanaman buah-buahan, dan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk sayur seperti ubi dan palawija.
Lahan yang dimiliki masyarakat berupa ladang, kebun (polak/parak) dan sawah berada di sekeliling kawasan hutan. Mengenai batas-batas lahan milik masyarakat ketentuannya sudah diatur oleh pemerintahan nagari. Batas kemiringan lahan yang ada di nagari ini pada umumnya sebesar sekitar 20-30 derajat Sampai saat ini masyarakat patuh kepada ketentuan tersebut. Dalam menentukan batas lahan-lahan masyarakat di nagari ini masyarakat menggunakan tanda seperti penanaman batu di setiap batas lahan atau dengan menanam pohon tertentu.
Bagi masyarakat Situjuah Gadang, lahan yang boleh ditanami atau dijadikan ladang adalah lahan milik pribadi (keluarga/kerabat), sementara lahan milik kaum biasanya dijadikan untuk pekuburan. Lokasi lahan garapan, apabila berjalan kaki berjarak kira-kira 15 menit perjalanan sampai 5 jam. Lahan yang dimiliki masyarakat berada di sekeliling kawasan hutan yang memiliki batas-batas lahan. Dalam menentukan batas lahan-lahan masyarakat di nagari ini masyarakat menggunakan tanda seperti penanaman batu di setiap batas lahan atau dengan menanam pohon tertentu.
Pembukaan lahan dalam bahasa lokal dikenal dengan Manaruko, umumnya dilakukan dengan cara tebang-bakar. Sebelumnya dilakukan perintisan dan pemilihan lokasi yang dianggap tepat untuk melakukan perladangan, untuk kemudian apabila dianggap sudah tepat, maka dilakukan pemancangan atau memberi patokan akan batas-batas ladang yang akan dibuka (dilambeh). Dalam pembukaan dan pengelolaan lahan perladangan di sekitar kawasan hutan, masyarakat mengenal upacara-upacara dan pantangan-pantangan yang selama ini masih tetap dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Masyarakat masih mempercayai akan adanya “makhluk” penunggu dan penjaga lahan yang tidak diolah. Untuk itu maka maka perlu dilakukan upacara ketika dilakukan pembukaan lahan tersebut.
Konsepsi yang berkembang dalam sistem pengetahuan masyarakat (termasuk didalamya pantangan dan larangan) yang diujudkan dalam bentuk tata cara bagaimana mengolah dan memanfaatkan lahan sampai penelitian ini masih berkembang, diyakini dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakatnya. Model kearifan lokal seperti ini disatu sisi telah melahirkan pola pembukaan dan pengelolaan lingkungan alam yang khas dari Situjuah gadang, namun sekaligus juga telah ikut menjaga ”kelestarian” lingkungan alam itu sendiri, sehingga hubungan masyarakat dengan alam tetap terintegrasi dengan baik secara simbiosis, dimana masyarakat bisa terbantu baik secara ekonomi maupun sosial dengan kondisi tersebut, sekaligus lingkungan alam juga tetap bisa dipertahankan keseimbangannya.

K. Kepustakaan

Ahimsah-Putra, Heddy Shri. 1985. "Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbanding-an", dalam : Masyarakat Indonesia. Jilid XII No.2, hal.103-133.
Arifin, Zainal. 1998. Arifin, Zainal. 1998. Talang: Sistem Klasifikasi dan Tindakan Adaptif Masyarakat dalam Proses Pembentukan Pemukiman Pada Suku-Bangsa Ogan di Lampung Utara. Tesis pada Program Antropologi Pasca Sarjana Univer-sitas Gadjah-mada, Yogyakarta.
Alland JR, Alexander. 1975. "Adaptation", dalam : Annual Review of Anthropology. Vol.4, hal.59-73.
Bennett, John. W. 1976. The Ecological Transition. Cultural Anthropology and Human Adaptation. Pergamon Press, Oxford.
Bennett, John. W. 1980. “Human Ecology as Human Behavior. A Normative Anthropo-logy of Resource Use and Abuse”. Dalam Irwin Altman, Amos Rapoport and Joachim F. Wohlwill (eds). Human Behavior and Environment. Anvances in The-ory and Research (Volume 4 : Environment and Culture). New York : Plenum Press. 243-277.
Dove, Michael R. 1981."Studi Kasus Tentang Sistem Perladangan suku Kuntu' di Kali-mantan", dalam : Prisma No. 4, April, hal.63-77.
Ellen, Roy F. 1982. Environment, Subsistence and System: The Ecology of Small-Scale Social Formations. Cambridge University Press, Cambridge.
Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara K.A., Jakarta.
Jurnal Studi Lingkungan Perguruan Tinggi seluruhh Indonesia, 2002, Volume 22, Nomor 2-4, 2002, Universitas Indonesia
Jurnal Suluah , 2004, Volume 04, Nomor 5 Agustus 2004, Nilai-nilai Demokratis da Eksistensi Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Jurnal Antropologi, Tahun V, Nomor 7, Januari-Juni 2004, Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas.
Monografi Nagari, 2006, Data Isian Monografi Situjuah Gadang, Biro Pemerintahan Nagari/Kelurahan SETDA propinsi Sumatera Barat.
Moran, Emilio F. 1978. Human Adaptability. An Introduction to Ecological Anthropo-logy. Colorado: Westview Press.
Orlove, Benjamin S. 1980. "Ecological Anthropology" dalam Annual Review of Anthro-pology. Vol.9, hal.235-273.
Spradley, James P. 1972. The Ethnographic Interview. Holt, Rinehart and Winston, New York.
Von-Liebenstein, G.W. 1995. "Adaptation and Development: Interdiciplinary Perspec-tive on Subsistence and Sustainablity in Developing Countries" dalam (Kusnaka Adimi-hardja., Ade M. Kramadibrata., Oekan S. Abdullah., dan Haryono S. Mar-todirdjo). Adaptation and Development: Interdiciplinary Perspective on Subsis-tence and Sustainablity in Developing Countries. UPT Indonesian Resource Cen-ter for Indegenous Knowledge Padjadjaran University, Bandung.