Jumat, 08 Agustus 2008

Jurnal PUITIKA Sastra Indonesia, FSASTRA Unand

Konsepsi dan Nilai Budaya Lokal Terhadap Pelestarian Kawasan Hutan

Abstrak

Konsepsi-konsepsi masyarakat lokal terhadap tindakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai konsekuensi dari nilai-nilai budaya lokal setempat yang mereka miliki. Masyarakat lokal tersebut adalah kelompok masyarakat peladang yang selalu selalu dituding sebagai kelompok masyarakat yang merusak hutan, dengan cara menebang dan membakar tanaman hutan sehingga persoalan hutan dewasa ini semakin ramai diberitakan dimana-mana terkait dengan persoalan bencana alam, seperti bencana banjir, longsor dan banjir bandang. Namun disisi lain, bahwa terdapat pandangan bahwa terdapat pengesahan secara budaya oleh kelompok pelakunya. Masyarakat pada prinsipnya memiliki kearifan tersendiri dalam membaca lingkungan yang dimilikinya, sehingga apapun aktifitas yang dilakukan dalam membuka dan mengelola lahan tidak merusak kawasan hutan.
Konsepsi yang berkembang dalam sistem pengetahuan masyarakat (termasuk didalamya cara dan teknologi pengelolaan lahan hutan, pantangan dan larangan) yang diujudkan dalam bentuk tata cara bagaimana mengolah dan memanfaatkan lahan diyakini dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakatnya. Model konsepsi dan kearifan lokal seperti ini disatu sisi telah melahirkan pola pembukaan dan pengelolaan lingkungan alam yang khas dari Situjuah gadang, namun sekaligus juga telah ikut menjaga ”kelestarian” lingkungan alam itu sendiri, sehingga hubungan masyarakat dengan alam tetap terintegrasi dengan baik secara simbiosis, dimana masyarakat bisa terbantu baik secara ekonomi maupun sosial dengan kondisi tersebut, sekaligus lingkungan alam juga tetap bisa dipertahankan keseimbangannya.


A. Latar Belakang

Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki kegunaan beraneka ragam baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat sosial budaya. Sumber daya alam hutan dapat menghasilkan kayu, rotan, umbi-umbian, kulit, daun, margasatwa, perlindungan tata air dan lingkungan hidup, dsb. Namun permasalahan hutan dewasa ini semakin ramai dibicarakan, salah satu diantaranya adalah semakin meluasnya lahan kritis, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. (M. Soerjani, dkk, 1983:31)
Selama ini masyarakat sekitar hutan, khususnya kelompok petani ladang sering dituding dan dipersalahkan sebagai kelompok masyarakat yang suka membuka dan mengelola kawasan hutan tanpa mempertimbangkan kerusakan yang muncul di kemudian hari. Pandangan seperti ini berangkat dari anggapan bahwa sistem perladangan yang dilakukan telah membuat kawasan hutan yang ada semakin tandus atau menjadi kawasan alang-alang (Kumolo, 1987), atau menurut Spate (Geertz, 1976), akibat perladangan telah mengakibatkan penggundulan dan erosi tanah yang serius.
Disisi yang lain, juga muncul pandangan bahwa sistem perladangan yang dilakukan dalam bentuk apapun telah memiliki pengesahan secara budaya oleh kelompok pelakunya (Dove, 1981; Wolf, 1983; Arifin, 1998). Artinya, masyarakat pada prinsipnya memiliki kearifan tersediri dalam membaca lingkungan yang dimilikinya, sehingga apapun aktifitas yang dilakukan dalam membuka dan mengelola lahan, pada prinsipnya selalu disesuaikan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam budayanya. Masalahnya, nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat (insider) sering dipaksa untuk selalu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan ukuran orang luar (outsider). Dengan demikian, pandangan bahwa aktifitas petani ladang sebagai kelompok yang selalu merusak kawasan hutan akhirnya perlu dipertanyakan kembali.

B. Perumusan masalah

Salah satu pandangan mengenai strategi pembangunan Indonesia terutama pada tingkat desa adalah proses pembangunan oleh reaksi (Colletta, 1987). Strategi seperti ini umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh pendekatan kelompok yang berkepentingan yaitu pemerintah dan agen-agen pemerintah, bukan pada sisi yang hendak diwujudkan setelah proses pembangunan itu berakhir sehingga pola pembangunan seperti itu lebih sebagai kegiatan sementara dan tidak membentuk masyarakat menjadi mandiri dan mampu meneruskan sendiri proses yang dispodorkan.
Strategi pembangunan berwawasan lingkungan (Soerjani, 1987) yakni upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya yang ada secara bijaksana dalam pembangunan dan berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Dalam hal ini strategi tersebut lebih menekankan pada partisipasi penuh masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, sehingga outsider lebih diposisikan sebagai kelompok yang lebih banyak membantu untuk pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini akhirnya menjadi penting. Pemahaman masyarakat (insider) terhadap kawasan hutan berbeda dengan pemahaman outsider. Masyarakat sekitar kawasan hutan banyak memandang kawasan hutan tersebut secara imanen dan holistik. Kawasan hutan dilihat memiliki hubungan fungsional, antara dirinya (masyarakat) dengan kawasan hutan terjalin satu kesatuan dalam ekosistem. Dengan demikian kawasan hutan tidak dikotak-kotakan dan dilihat secara berbeda sesuai dengan fungsi dan kegunaannya, tetapi lebih dilihat sebagai sebuah kesatuan kawasan yang didalamnya termasuk masyarakat itu sendiri. Karena pandangan tersebut, maka aktifitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan selalu berdasarkan kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Dengan kata lain, kebudayaan dapat menjembatani pola hubungan antara manusia dan lingkungannya. Bagaimana kebudayaan berproses dalam menjembatani pola hubungan tersebut, akhirnya lebih dikonsepkan sebagai “kearifan masyarakat” atau sering juga disebut “kearifan tradisional”.
Dalam konteks ini kearifan menghimpun konsepsi-konsepsi masyarakat tentang kawasan hutan, serta tindakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai konsekuensi dari konsepsi-konsepsi yang mereka miliki. Dengan demikian berarti, untuk melihat bagaimana kearifan sebuah masyarakat terhadap suatu kawasan hutan, kita tidak bisa meninggalkan pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi tersebut, karena tindakan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan terujud sebagai hasil konsepsi yang mereka miliki. Konsepsi itu sendiri ada dalam sistem kognitif individu-individu anggota kelompoknya, yang memuat berbagai klasifikasi yang berhasil menciptakan keteraturan atas situasi disekelilingnya sehingga akhirnya mewujudkan tindakan adaptif tertentu (Ahimsah-Putra, 1986: Bennett, 1976).

C. Tinjauan Pustaka

Hubungan manusia dan lingkungan selalu dijembatani oleh kebudayaan. Lewat kebudayaan, manusia selalu berusaha menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kemampuan individu dan kelompoknya. Permasalahan yang muncul selama ini, tidak selalu tindakan-tindakan yang dimunculkan individu dan kelompok selalu memuaskan tindakan individu lain dan kelompok serta lingkungannya, begitu juga sebaliknya tindakan yang dilakukan secara kelompok (sosial) belum tentu memuaskan individu anggota kelompok serta lingkungannya. Berangkat dari hal diatas, maka pemikiran bahwa setiap individu dan kelompok akan selalu menjaga keseimbangan lingkungan (equilibrium) seperti diutarakan Alland (1975) tidak selalu benar.
Menurut Bennett (1976), tindakan individu atau kelompok akan selalu mengutamakan keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) individu atau kelompok tersebut. Dengan demikian maka upaya menjaga keseimbangan lingkungan oleh individu dan kelompok bukanlah prioritas pertama, tetapi menjadi prioritas kedua atau selanjutnya. Namun tindakan manusia tersebut akan selalu mengimplikasikan sifat kompromi, yaitu suatu arahan yang sesuai dengan struktur internal kebudayaan dan tekanan eksternal lingkungan (alam dan sosial). Karena tindakan manusia selalu menunjukkan sifat kompromistis, maka tindakan tersebut sebenarnya berproses dari rangkaian dan kontinuitas kognitifnya (Bennett, 1980). Hal ini disebabkan karena semua tindakan manusia tidak bisa dianggap akan berlaku secara otomatis, tapi melalui suatu proses yang bertahap. Setiap tahapan, manusia sanggup mengubah dan memanipulasi proses tersebut lewat sistem kognitifnya (Bennett, 1980).
Pada tahapan individual ini, manusia hanya berhadapan dengan keadaan yang bertujuan untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan atau diinginkannya. Lewat kesatuan kognitif, tindakannya lalu dikompromikan, dikomunikasikan dan ditransformasikan ke individu lain, sehingga tindakan-tindakan tersebut relatif terbagi secara bersama (sosial). Dengan demikian maka tindakan-tindakan individual pada hakekatnya adalah sosial, karena individu disatu sisi banyak dipengaruhi dan disosialisasi oleh komunalnya. Tindakan bersama atau komunal ini kemudian dijadikan sebagai alat untuk menghadapi lingkungannya sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai secara sosial. Dengan kata lain, tindakan-tindakan yang sudah disyahkan secara sosial ini, akhirnya dijadikan sebagai milik bersama dan dilekatkan dalam kognitifnya sebagai acuan serta melegitimasikan tindakan setiap individu. Dalam kajian ilmu sosial dan humaniora, sistem kognitif yang menjadi milik bersama dan dijadikan sebagai acuan serta alat pengelegitimasi tindakan-tindakan individual ini kemudian sering disebut sebagai kebudayaan (Jurnal Suluah, 2004).
Karena secara biologis dan psikis, setiap individu memiliki ciri-ciri khas dan kemampuan yang berbeda, maka kebudayaan yang diserap oleh setiap individu juga akan berbeda. Dalam operasionalnya maka tidaklah keseluruhan sistem kognitif yang berkembang dalam masyarakat atau kelompoknya akan dijadikan acuan oleh individu, tetapi cenderung akan dipilih secara selektif sesuai dengan keinginan dan kebutuhaannya. Artinya karena stimulus yang dihadapi oleh individu berbeda, kebutuhan dan keinginannya juga berbeda satu sama lain, maka cara merespon kondisi dan situasi lingkungan yang dihadapi juga akan berbeda antar individu satu dengan individu lainnya, antar kelompok satu dengan kelompok yang lain. Karena stimulus yang dihadapi akan selalu mengalami perubahan, maka menurut von-Liebenstein (1995), sistem pengetahuan (kebudayaan) ini harus terus diproduksi agar masyarakatnya tetap hidup dalam suatu hubungan yang seimbang dengan tatanan lingkungan alam dan masyarakatnya.
Pandangan kebudayaan seperti ini mengimplikasikan bahwa individu hanya dapat memilih salah satu model untuk memandu keputusan dan tindakannya pada basis pilihan yang sadar atau tidak sadar sebagai akibat kondisi lingkungan yang diterimanya. Kebudayaan dengan demikian mensuplai aturan-aturan moral (pranata sosial) yang berfungsi sebagai pemaksa kebebasan memilih model-model tindakan. Individu tidak selalu bebas menentukan pilihannya sendiri pada basis kesukaan, kepuasan, atau permintaan situasional, tetapi harus mengikuti norma-norma tertentu yang sifatnya untuk kebaikan, rectitute dan bersifat timbal balik (reciprocity) (Bennet, 1976).
Aturan-aturan moral yang disosialisasikan kepada individu kemudian mempedomani tindakan-tindakan mereka. Dalam arti kata, tindakan-tindaqkan yang diujudkan sebenarnya produk dari suatu proses budaya yang digunakan untuk mengatasi kondisi-kondisi bagi keberadaannya yang disebabkan oleh reproduksi perkembangan mereka secara selektif (Ellen, 1982). Tindakan manusia sebagai proses budaya menurut Bennett (1976) meliputi pemilihan alternatif dan pengambilan keputusan, yang berkenaan dengan mungkin atau tidak mungkinnya tingkah laku tersebut diterapkan menurut kontrol dan proses-proses sistemik yang melingkupinya. Moran (1982) melihat proses seperti ini sebagai pengaruh dari struktur logis (logical structure) yang membatasi logis tidaknya kategorisasi yang dibuat oleh pengetahuan seseorang atau sekelompok orang. Hal ini akhirnya menyebabkan tindakan-tindakan pelaku dalam membuka, mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan menjadi tindakan yang khas yang hanya dimiliki oleh masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat lainnya ( Jurnal Pusat Studi Lingkungan, 2002).

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memahami bagaimana kearifan masyarakat sekitar hutan dalam pembukaan lahan, mengelola dan memafaatkan hutan. Berangkat dari pemahaman tentang kearifan tersebut diatas tadi, maka secara lebih spesifik, tujuan penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut :
(a) Memahami bagaimana konsepsi-konsepsi masyarakat sekitar kawasan hutan tentang hutan itu sendiri, dengan cara mengidentifikasi sistem klasifikasi mereka terhadap kawasan hutan.
(b) Memahami bagaimana ujud tindakan yang dimunculkan masyarakat sekitar kawasan hutan berangkat dari konsepsi mereka tentang kawasan hutan sendiri. Dalam hal ini akan dipahami bentuk tindakan dalam pembukaan., pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
(c) Memahami bagaimana efek yang dimunculkan terhadap lingkungan akibat pola tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
E. Manfaat penelitian

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu pemecahan masalah pembangunan, khususnya persoalan pembangunan kawasan hutan yang dari hari ke hari mengalami perubahan ekosistem akibat tindakan pembukaan dan pengelolaan perladangan oleh masyarakat serta pemanfaatan sumber daya alam hutan.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam pengadaan literatur, khususnya literatur yang berhubungan dengan pembangunan kawasan hutan yang bertitik tolak kepada pemberdayaan masyarakat untuk bertindak arif terhadap hutan.
F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Nagari Situjuh Gadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota. Alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan di lokasi tersebut merupakan ke dalam wilayah kawasan hutan, namun beberapa tahun belakangan ini dengan pola budaya pembukaan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat menyebabkan terdapatnya lahan-lahan kritis. Penelitian ini menggunakan metode etnokologi, sehingga sumber data utama dalam penelitian ini nantinya lebih ditekankan pada kekuatan informasi yang diberikan oleh para informan, dengan cara mengikuti pandangan atau makna yang diberikannya sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Informan dalam penelitian ini adalah anggota masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, namun tidak tertutup kemungkinan sumber data juga didapat dari pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap kawasan hutan tersebut, seperti pihak pemerintah nagari. Pengumpulan data dilakukan lewat observasi partisipasi yang dibantu dengan wawancara secara mendalam sesuai dengan panduan wawancara. Sebagai pendukung data, peneliti juga tidak menolak data-data yang sifatnya sekunder yang mendukung penelitian ini, seperti data kependudukan, penggunaan lahan, dan sebagainya. Untuk itu peneliti akan memanfaatkan data-data dari laporan pemerintah nagari, kecamatan, maupun kabupaten serta dari instansi-instansi terkait lainnya.

G. Deskripsi Lokasi Penelitian

Nagari Situjuah Gadang merupakan salah satu nagari yang terletak dikawasan hutan dan perbukitan yang berada pada 745 meter dari ketinggian laut. Daerah ini dikelilingi oleh kawasan hutan seluas 1690 Ha. Nagari Situjuah Gadang memiliki 6 jorong, yaitu Jorong Situjuah gadang, Padang Kuning, Kaciak, Padang Jariang, Tanjuang Sumantuang dan Jorong Tanjung Bungo. Di nagari ini terdapat 4 buah suku besar, yaitu suku Piliang, Bodi nan Enam, patang Beniniak dan Bendang Melayu.
Nagari Situjuah gadang berbatasan dengan :
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Banda Alam.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kenagarian Sikabu Tanjung Aro.
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Payakumbuh.
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunuang Sago.
Nagari Situjuah terletak ± 10 km dari pusat kota dan 134 km dari ibukota Propinsi. Sebagian besar dari nagari ini terdiri dari daratan tinggi yaitu lahan kritis 310.25 Ha, dan lahan terlantar 12.2 Ha.
Jumlah penduduk nagari Situjuah Gadang pada tahun 2006 adalah 5.339 jiwa terdiri dari 2.706 jiwa laki-laki dan 2.633 jiwa perempuan, dengan 503 kepala keluarga.

H. Lahan, Hutan & Masyarakat
1. Konsepsi Masyarakat Tentang Lahan & Hutan

Masyarakat nagari Situjuh Gadang merupakan masyarakat agraris. Pada umumnya masyarakat Situjuh Gadang bekerja pada sektor pertanian antara lain bertani, berkebun sekitar 85%. Selain itu ada yang menjadi pegawai negeri, pedagang dan awak transportasi.
Masyarakat Situjuh Gadang memandang hutan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mereka. Menurut mereka hutan adalah sumber kehidupan bagi mereka, sumber air. Mereka menganggap bahwa hutan mereka ini merupakan hutan yang masih alami, maksudnya hutan mereka terlindung dari pengeksploitasian hutan seperti pembalakan liar dsb.
Mereka sangat menjaga hutan ini dengan mematuhi segala aturan dari pemerintah maupun aturan yang ada dalam masyarakat mereka. Menurut salah seorang wali jorong, bukti bahwa mereka sangat menjunjung hutan ini apabila mereka membutuhkan kayu untuk membuat rumah atau lainnya mereka takkan mau mengambil dari hutan, mereka lebih baik membeli kayu di luar daripada mengambil kayu tersebut ke hutan. Secara keseluruhan masyarakat situjuh gadang merupakan masyarakat yang sudah modern hal ini dilihat pola bertani (penggunaan pupuk/pestisida) dan kegiatan perekonomian mereka.
Hutan yang ada di nagari situjuh gadang memiliki fungsi yang vital bagi masyarakat. Menurut masyarakat binatang-binatang liar banyak berada di hutan ini seperti: harimau, kambing hutan, rusa, burung-burung, kera dsb. Selain itu binatang-binatang yang ada di hutan ada juga mengganggu masyarakat seperti babi hutan yang sering memakan dan merusakan tanaman-tanaman masyarakat. Peristiwa ini sangat membuat kesal masyarakat tetapi memang tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain mengusir dan memburu mereka.
Secara geografis, nagari Situjuah Gadang adalah sebuah daerah perbukitan yang dikelilingi oleh bukit-bukit sebagai gugusan dari Bukit Barisan yang memiliki 2 batang air, yaitu batang Air Pincuran dan batang Kuniak yang mengairi lahan pertanian sawah masyarakat. Kondisi seperti ini tentu saja membuat masyarakat desa Situjuah gadang menjadi masyarakat yang sangat akrab dengan kehidupan hutan dan mengandalkan pertanian sebagai lahan utama mata pencaharian, khususnya lebih mengandalkan pertanian ladang dan pertanian sawah.
Hutan pada masyarakat Situjuah gadang adalah suatu areal yang didalamnya tumbuh dan berkembang aneka kehidupan yang dapat menghasilkan untuk setiap kebutuhan hidup masyarakat dan areal ini dapat mereka jadikan lahan mata pencaharian. Sebagian besar, hutan yang ada di daerah penelitian ini adalah hutan belukar yang sebelumnya sudah pernah diolah dan letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Hutan ini lalu mereka buka untuk dijadikan ladang yang ditanami bermacam-macam tanaman keras seperti karet, kulit manis, atau kopi.
Dalam hal ini ladang atau dalam bahasa lokal disebut dengan polak adalah suatu tempat untuk bertani yang sifatnya tetap yang berlokasi jauh dari rumah atau pemukiman dan jenis tanamannya adalah tanaman tua seperti kopi, karet, kulit manis atau durian.
Disamping jenis lahan tersebut (polak, sosok dan sawah), masyarakat Situjuah gadang sebenarnya juga sering memanfaatkan lahan yang ada disekitar pemukiman atau pekarangan rumah. Lahan yang ada di sekitar rumah ini dalam konsep lokal sering disebut dengan parak. Fungsi parak ini sebenarnya tidak ditujukan untuk lahan produktif seperti polak dan sawah, namun tidak jarang masyarakat juga sering menanami lahan sekitar rumah ini dengan jenis tanaman ladang seperti kopi, kulit manis dan pinang. Kebanyakan lahan ini diperuntukan bagi tanaman kebutuhan rumah tangga sehari-hari seperti, pisang, tanaman buah-buahan (rambutan, jambu, sirsak dll), serta jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk sayur seperti ubi dan palawija.

Lahan-lahan yang ada (ladang, sawah, permukiman, dan pandam pekuburan) ini adalah lahan milik pribadi yang didapat dari warisan orangtua, keluarga, kerabat, dari hasil gadai, atau dari hasil membuka sendiri lahan hutan milik nagari. Sebagai tanda kepemilikan lahan terutama lahan perladangan, maka lahan yang ada biasanya ditandai dengan barisan kayu yang dipagarkan, atau pada sebahagian masyarakat juga melakukannya dengan takiak silang yaitu dengan memberi tanda silang pada kayu-kayu tertentu atau membuat kayu yang disilangkan pada tempat-tempat tertentu terutama di sudut-sudut ladang. Dengan cara seperti ini, maka setiap lahan garapan yang ditinggalkan cukup lama akan dapat dikenali di kemudian hari oleh pemiliknya, dan bagi peladang baru juga bisa mengenali bahwa lahan tersebut sebenarnya sudah ada pemiliknya walaupun kondisi lahan sudah menjadi semak belukar. Bagi seseorang yang terlanjur berladang di areal yang sudah dimiliki tersebut, maka dia harus memberikan ganti rugi (mambayiah utang) dengan cara membawa carano berisi sirih kepada ninik mamak pemilik ladang yang pertama sebagai tanda ucapan minta maaf.

2. Pemilihan Lokasi Lahan yang Dimanfaatkan

Lahan yang dimiliki masyarakat berupa ladang, kebun (polak/parak) dan sawah berada di sekeliling kawasan hutan. Mengenai batas-batas lahan milik masyarakat ketentuannya sudah diatur oleh pemerintahan nagari. Batas kemiringan lahan yang ada di nagari ini pada umumnya sebesar sekitar 20-30 derajat Sampai saat ini masyarakat patuh kepada ketentuan tersebut. Dalam menentukan batas lahan-lahan masyarakat di nagari ini masyarakat menggunakan tanda seperti penanaman batu di setiap batas lahan atau dengan menanam pohon tertentu.
Bagi masyarakat Situjuah gadang, lahan yang boleh ditanami atau dijadikan ladang adalah lahan milik pribadi, sementara lahan milik kaum biasanya dijadikan untuk pekuburan. Lokasi lahan garapan yang dipunyai penduduk ini ada di dalam hutan, dimana jarak terdekat apabila berjalan kaki hanya berjarak kira-kira 15 menit perjalanan. Namun juga banyak ditemui lahan garapan penduduk dimana mereka harus berjalan kaki sampai kira-kira 2 jam, bahkan juga ditemukan jarak lahan yang sampai 5 jam perjalanan kaki. Ladang terdekat biasanya ladang-ladang yang telah dipunyai sejak lama oleh keluarga tersebut, sementara ladang yang berjarak jauh biasanya adalah ladang-ladang baru yang dimiliki oleh kaum dan desa setempat.
Lahan ladang ini kebanyakan adalah lahan yang telah diolah dari generasi ke generasi orangtua atau keluarga yang telah ada sebelumnya, walaupun ada lahan-lahan garapan baru kecenderungannya lokasinya sudah berada jauh di dalam hutan. Lokasi lahan garapan sudah masuk jauh ke dalam hutan ini cenderung dilakukan karena semakin terbatasnya lahan garapan yang ada dekat dengan pemukiman, sehingga tidak ada lahan lain lagi yang akan dibuka. Karena ladang penduduk banyak yang berada di sekitar dan di atas bukit, maka lahan ladang yang dimiliki, kebanyakan kondisinya berbentuk miring dan hanya sedikit sekali yang datar. Walaupun demikian, karena dianggap sebagai sebuah tradisi dimana lahan ladang memang kebanyakan miring, maka lokasi berladang cenderung selalu berada pada daerah-daerah dengan kemiringan antara 300 sampai 600.
Berkenaan dengan luas lahan, sangat ditentukan sekali dengan kemampuan pemiliknya dalam menggarap lahan tersebut. Dengan kondisi lahan yang berbukit (miring), lokasi yang relatif jauh, serta permukaan awal lahan yang berhutan lebat, maka luas kepemilikan lahan pada awalnya hanya berkisar antara 0,25 ha sampai 0,50 ha. Namun setelah lahan diolah, dengan pertimbangan tertentu, maka luas lahan yang dimilik rata-rata berkisar 1 ha sampai 2 ha untuk satu kepala keluarga. Luas lahan ini biasanya dipertimbangkan antara jauhnya lokasi dan tenaga yang dikeluarkan dengan hasil panen yang diharapkan, sehingga dengan luas lahan tersebut diperkirakan tidak akan rugi untuk membuka dan mengolah lahan tersebut.
Dilain pihak, dimana lahan tersebut secara kepemilikan adalah milik bersama atau milik desa, dan akan dibuka (diolah) secara bersama, maka luas lahan yang harus dimiliki oleh seorang peladang dilakukan dengan cara kesepakatan bersama. Artinya, luas lahan masing-masing peladang relatif sama, dan posisi ladang juga dikondisikan secara bersama. Misalnya lahan yang ada akan dibuka secara bersama oleh 5 orang peladang. Maka 5 orang peladang ini akan melakukan kesepakatan yang biasanya luas lahan yang ada akan dibagi menjadi 5 dengan luas yang relatif sama, begitu juga dengan posisi arah ladang, serta dimana si A atau B harus berladang, akan sangat ditentukan oleh kesepakatan tersebut, bukan berdasarkan kemampuan individu peladang dalam mengolah lahan.

3. Jenis Tanaman Yang Dimanfaatkan

Pada umumnya masyarakat Situjuh Gadang berladang sawah dan berkebun tanaman-tanaman antara lain: cabe, tembakau, cengkeh, pisang, kopi, kulit manis. Untuk berladang sawah masa pengolahan pada umumnya memakan waktu selama 4-6 bulan, durasi bulanan ini juga terjadi pada penanaman cabe dan tembakau. Sedangkan untuk berladang tanaman-tanaman keras seperti kayu manis dsb memakan masa bertahun-tahun bahkan ada yang bisa mengambil hasil sampai belasan tahun. Lahan-lahan ini seperti di masyarakat Minangkabau pada umumnya dimiliki oleh suku dan sebagian kecil saja yang dimiliki oleh individu. Masyarakat luar dari nagari ini memiliki akses juga untuk memiliki lahan dan mengelolanya, hal ini bisa terjadi apabila memang ada warga yang menjual lahannya.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada masyarakat Situjuah gadang, walaupun mereka memiliki lahan persawahan, lahan non sawah seperti kebun dan perladangan dengan demikian tetap harus ada, karena lahan ini lebih diperuntukkan sebagai lahan pemenuhan kebutuhan lain diluar kebutuhan makanan pokok. Artinya mengolah lahan perladangan atau non sawah, tidak akan pernah berhenti selama tanaman padi belum memiliki nilai jual dalam tradisi mereka. Untuk itu, maka ketika kebutuhan beras dianggap mencukupi, maka lahan persawahan cenderung akan dijadikan lahan untuk jenis tanaman jneis palawija seperti cabe, kacang tanah, dan jenis palawija lainnya. Sementara pekarangan diperuntukkan untuk jenis tanaman buah-buahan, pisang, jengkol dan lain-lainnya yang sifatnya lebih diperuntukkan bagi kebutuhan rumah tangga. Sementara lahan perladangan dimanfaatkan untuk tanaman bernilai jual tinggi seperti kopi, kulit manis, karet atau kelapa sawit, bahkan sebuah lahan akan cenderung ditanami semua jenis tanaman tersebut.
Berkenaan dengan penentuan jenis tanaman perladangan, masyarakat Situjuah gadang masih sangat dipengaruhi oleh sistem pengetahuan mereka tentang jenis tanaman yang bernilai ekonomi atau bernilai jual tinggi. Sebahagian besar masyarakat sebenarnya telah mengenal beragam jenis tanaman berpeluang ekonomi tinggi seperti pinang dan kelapa sawit, akan tetapi karena jenis tanaman seperti ini adalah jenis tanaman baru dalam budaya-ekonomi mereka, sehingga pola penanaman, perawatan dan pengolahan masih belum membudaya. Akibatnya jenis tanaman yang bertahan dan umum dilakukan di lahan-lahan yang ada, masih terbatas pada jenis tanaman yang sudah dibudidayakan oleh generasi-generasi sebelum mereka yaitu jenis tanaman karet, kopi, dan kayu manis.
Jenis tanaman kulit manis sebenarnya adalah jenis tanaman yang muncul belakangan sebagai dampak dari pola ekonomi yang diterapkan. Artinya jenis tanaman ini bukanlah jenis tanaman yang ditemukan pada pola perladangan generasi-generasi sebelum mereka, tetapi muncul sebagai sambutan kebutuhan pasar. Akan tetapi karena cara tanam, pola pemeliharaan dan pengolahan tidak terlalu berbeda dengan jenis tanaman karet, maka jenis tanaman kulit manis sedikit mudah diterima dan dibudidayakan oleh masyarakatnya, walaupun pola penanaman relatif masih mengikuti pola penanaman jenis tanaman karet.

4. Cara dan Teknologi Pengelolaan Lahan

Pada tahun 1930an, Pada masyarakat Situjuah Gadang pembukaan lahan dalam bahasa lokal dikenal dengan Manaruko, umumnya dilakukan dengan cara tebang-bakar. Sebelumnya dilakukan perintisan dan pemilihan lokasi yang dianggap tepat untuk melakukan perladangan, untuk kemudian apabila dianggap sudah tepat, maka dilakukan pemancangan atau memberi patokan akan batas-batas ladang yang akan dibuka (dilambeh). Sebelum dirambah atau dibersihkan, terlebih dahulu peladang akan minta izin pada makhluk-makhluk halus penghuni lahan dengan cara berdoa dan membakar kemenyan. Biasanya yang memimpin doa dan membakar kemenyan dimintakan pada orang-orang yang “ditua-kan”, yaitu orang-orang yang dianggap punya pengetahuan dan kelebihan walaupun dari segi umur ia masih muda. Untuk lahan-lahan yang dimiliki desa atau kaum, dengan demikian hanya penduduk kaumnya atau penduduk asli desa tersebut yang berhak membuka lahan tersebut. Pendatang bisa mengolah lahan yang ada dengan syarat harus menjadi penduduk asli terlebih dahulu yang biasanya dilakukan dengan cara upacara penerimaan oleh kaum atau desa dan menyembelih ayam yang dihadiri oleh ninik mamak setempat.
Apabila syarat awal pembukaan lahan sudah terpenuhi, maka pembukaan lahan akan diawali dengan menebangi pohon-pohon dan semak belukar yang ada di atas lahan (melambeh). Dalam membuka lahan, alat utama yang digunakan adalah kapak (parang) dan beliung. Parang (kapak) digunakan untuk merambah pohon-pohon kecil atau semak-semak yang ada di bawah pohon-pohon besar. Sementara beliung digunakan untuk menebang pohon-pohon besar. Khusus beliung, sengaja dibuat dengan tangkai yang panjang dimana bagian tengahnya agak kecil, dengan pemikiran bahwa bentuk seperti ini akan lebih mudah diayunkan (ngeper) sehingga dianggap akan meringankan pekerjaan penebangan kayu. Dalam perkembangan kemudian, terutama bagi peladang yang relatif mampu, ada juga yang menggunakan mesin sinso, tetapi karena alat ini terbatas dan dimiliki oleh satu dua orang saja, maka penggunaan alat ini biasanya dengan cara mengupah, sehingga terasa relatif mahal dan menambah biaya bagi peladang yang tidak mampu. Waktu pembukaan lahan dengan cara seperti ini membutuhkan waktu lebih kurang 2 sampai 3 bulan.
Setelah perambahan dan penebangan kayu dilakukan, maka lahan dibiarkan sampai beberapa bulan agar semak-semak dan kayu-kayu yang ditebang relatif telah mengering dan membusuk, lalu lahan tersebut dibakar. Dalam melakukan pembakaran, pertama kali mereka harus membakar bagian tepi lahan sampai habis kemudian dilanjutkan dengan bagian tengah lahan sampai habis, dimana ini dilakukan untuk menjaga kebakaran terhadap lahan orang lain. Setelah dilakukan pembakaran, biasanya tanah tersebut dibiarkan dibiarkan untuk beberapa minggu agar abu hasil pembakaran dianggap telah meresap ke dalam tanah, baru setelah itu diolah dengan menggunakan pangkuah (cangkul) untuk menanam tanaman keras maupun muda. Untuk jenis tanaman kopi, karet, kelapa sawit, maka tanah yang ditanam harus diberi lubang sebanyak yang mereka inginkan dan menyediakan bibit-bibit yang berumur 10 bulan dan bibit tersebut dimasukkan ke dalam lubang tersebut dengan padat supaya menjaga tidak mati dan selama 3 bulan sekali dipupuk.
Namun dalam banyak kasus perladangan di masyarakat Situjuah gadang, lahan perladangan yang telah dibakar untuk pertama sekali akan ditanami dengan jenis padi ladang (padi gogo), setelah padi ladang panen dan dianggap bisa memenuhi kebutuhan keluarga peladang, maka ladang akan ditanami tanaman pokok seperti kopi, dan kulit manis. Ketika aktifitas perladangan mulai menurun untuk jenis tanaman yang butuh perawatan intensif atau seorang peladang mulai jenuh dengan lokasi perladangannya, maka biasanya masyarakat akan mengalihkan isi perladangannya dengan jenis tanaman karet. Tanaman karet ini dianggap jenis tanaman yang tidak butuh perawatan khusus, tetapi bisa dimanfaatkan kapan saja ketika masyarakat membutuhkan, disamping juga dipakai sebagai tanda bahwa areal masih dimiliki oleh orang lain.
Disamping itu juga ditemukan sistem pengolahan ladang dengan membagi lahan-lahan pengolahan, biasanya dibagi atas 3 atau 4 petak. Pengolahan pertama dilakukan di petak pertama dengan menanaminya padi gogo yang dilanjutkan dengan tanaman cabe, untuk kemudian baru ditanami dengan tanaman keras seperti karet dan kopi. Setelah lahan pertama dianggap menghasilkan panen cukup baik, petak kedua dibuka dengan menanam padi yang dilanjutkan dengan tanaman lado dan terakhirnya baru ditanam dengan tanaman keras (karet dan kopi). Begitu seterusnya sampai petak terakhir juga dibuka dan diolah. Pola seperti ini dilakukan terutama pada lahan perladangan yang relatif luas sementara tenaga terbatas, disamping adanya pemikiran untuk menjaga kesuburan tanah, karena lahan yang terlalu sering ditanami jenis tanaman yang sama dianggap akan cepat menghabiskan kesuburan tanahnya, sehingga perlu dilakukan pertukaran jenis tanaman dan lahan pengolahan.
Dewasa ini, pembukaan lahan sawah maupun lahan perladangan mengalami perubahan, dimana lahan sawah biasanya sudah ada dan dimiliki oleh generasi sekarang. Sedangkan untuk lahan ladang, pembukaan lahan hanya berkisar antara menyaingi dan menanam saja, tanpa diperlukan tehnik-tehnik khusus.

5. Upacara dan Pantangan dalam Pembukaan Lahan

Dalam pembukaan dan pengelolaan lahan perladangan di sekitar kawasan hutan, di masyarakat Situjuah Gadang juga mengenal upacara-upacara dan pantangan-pantangan yang selama ini masih tetap dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Masyarakat masih mempercayai akan adanya “makhluk” penunggu dan penjaga lahan yang tidak diolah. Untuk itu maka maka perlu dilakukan upacara ketika dilakukan pembukaan lahan tersebut.
Berkenaan dengan aktifitas perladangan ditemui larangan-larangan seperti : (1) larangan untuk memotong atau mengganggu takok (tonggak batas) ladang orang lain, (2) larangan mengambil bagian lahan tetangganya, (3) larangan membuat ladang yang tidak searah dengan ladang-ladang lainnya, (4) larangan untuk menebang kayu yang tumbuah di ulu guntuang, yaitu kayu yang tumbuh di dekat rawa-rawa. Biasanya jenis kayu ini adalah batang beringin dan kayu gadis. (5) bagi kakak beradik, maka ladangnya harus bersebalahan satu sama lain, dan (6) apabila salah seorang anggota kelompok tidak sanggup meneruskan ladangnya (mundur ditengah jalan), maka semuanya harus mundur. Apabila larangan dan keharusan ini dilanggar, maka secara kelompok, mereka yang melanggar akan dikenai dengan 1 ekor kambing dan 2 sak semen atau sejumlah uang dengan besar denda material tersebut. Kambing ini akan dimasak dan dimakan secara bersama di surau, sementara semen dipakai untuk memperbaiki surau, lalu diadakan doa bersama memohon ampun pada Tuhan atas pembatalan dan pelanggaran janji kepada kelompok tersebut.
Ketika seseorang memasuki hutan, juga berpantang untuk tidak boleh makan sambil berjalan-jalan, karena dipercayai akan mengundang binatang-binatang buas menghampiri dirinya. Juga ditemukan larangan bagi wanita hamil (terutama hamil anak pertama) untuk masuk hutan karena dipercayai akan mengakibatkan datangnya harimau karena mencium bau wangi dari tubuh wanita hamil tersebut.
Sementara dalam pengelolaan sawah juga sering ditemukan adanya pantangan dan larangan yang juga masih dipercayai penduduk, antara lain khusus hari Jum’at dipakai sebagai hari istirahat atau hari tidak bekerja. Pantangan ini walau tidak tertulis, namun diyakini dan dipatuhi oleh sebahagian besar penduduk, karena ada anggapan bahwa hari Jum’at tersebut adalah hari untuk beribadah. Apabila pada hari Jum’at tersebut, penduduk tetap melakukan aktifitas pertanian (baik sawah maupun ladanag) seperti menanam, merawat, panen, atau menjemur padi atau kopi, maka dipercayai akan ada bencana dan gangguan yang menimpa dirinya. Kemudian juga tidak boleh menanam pisang, cabe dan terong di daerah tanjung karena diyakini akan mengakibatkan tanah di tepi tanjung akan longsor. Secara berkelompok, masyarakat Situjuah gadang juga sering melakukan upacara “mandoa tahunan” ketika panen padi selesai. Acara ini dilakukan di surau dengan memotong kambing, kegiatan ini diikuti oleh semua warga, dan uang untuk melakukan acara tersebut berasal dari iuran para penduduk.

I. Konsepsi Masyarakat Tentang Pelestarian Hutan

Bagi masyarakat Situjuah Gadang, konsep pelestarian lingkungan lebih dilihat sebagai upaya menjaga kawasan hutan agar tetap bisa dimanfaatkan dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Berdasarkan konsepsi tersebut maka menurut mereka tidak ada larangan untuk mengolah lahan dimana dan kapan saja selagi cara pemanfaatannya tidak melanggar aturan-aturan main yang berkembang dalam masyarakatnya.
Aturan-aturan tersebut diatas biasanya berbentuk pantangan-pantangan atau keharusan ketika melakukan aktifitas tertentu di hutan serta ketentuan-ketentuan dalam pembukaan dan pengolahan lahan. Dalam sistem pengetahuan masyarakatnya, konsepsi pelestarian juga ditunjukkan ketika mengolah lahan berupa luas lahan dan pertukaran isi ladang dengan jenis tanaman tertentu. Jarang ditemukan seorang peladang akan mengolah dan membuka lahan perladangan lebih dari satu lokasi dengan luas areal lebih dari 2 hektar. Artinya, setiap peladang cenderung hanya akan mengerjakan satu areal perladangan sampai areal tersebut dianggap tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kebutuhan mereka karena kesuburan tanah yang dianggap sudah mulai berkurang. Dalam hal ini kesuburan tanah akan ditandai dengan panen yang dianggap cukup memuaskan sesuai dengan ukuran umum yang berkembang di masyarakat.
Cara lain yang dilakukan masyarakat untuk menyuburkan tanah adalah dengan membiarkan areal lahan tersebut ditumbuhi semar belukar atau dengan menghutankan kembali areal tersebut. Cara menghutankan kembali atau membiarkan areal lahan menjadi semak belukar inilah yang dikonsepsikan oleh masyarakat sebagai cara melestarikan hutan. Setelah dianggap sudah menjadi hutan kembali, yang ditandai semakin banyak dan tingginya pohon-pohon di atas areal tersebut, maka berarti lahan tersebut dianggap sudah cukup bagus untuk dijadikan ladang. Jenis tanaman semak lalu dibersihkan dan dilakukan pembakaran. Abu pembakaran ini dianggap masyarakat sebagai cara lain untuk melakukan pemupukan secara alami. Setelah ladang dianggap tidak cukup baik lagi, maka untuk kemudian lahan akan dibiarkan untuk menjadi hutan kembali, demikian seterusnya.
Karena konsepsi pelestarian dilihat sebagai areal hutan yang bermenfaat secara terus menerus, maka areal hutan juga terbuka untuk pengambilan kayu. Namun pengambilan kayu dalam konsepsi pelestarian masyarakat ini bukan pengambilan dalam jumlah besar seperti yang sering dilakukan kelompok HPH. Pengambilan kayu sesuai dengan kebutuhan hidup mereka (untuk rumah) dianggap bukan perusakan hutan, tetapi apabila pengambilan kayu tersebut memang ditujukan untuk dijual dan diambil dalam jumlah besar, masyarakat menganggapnya bukan cara pelestarian hutan lagi. Berangkat dari konsepsi tersebut, maka menurut masyarakat, masih wajar apabila penduduk mengambil kayu di hutan untuk kebutuhan hidup mereka dan menganggapnya bukan perusak hutan.


J. Kesimpulan

Masyarakat Situjuah Gadang adalah satu masyarakat yang mengakui dirinya sebagai komunitas masyarakat Minangkabau. Masyarakatnya tinggal di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh kawasan hutan. Kondisi ini menyebabkan masyarakatnya menjadi sangat akrab dengan kehidupan pegunungan dan banyak mengandalkan lahan hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Ini terlihat dari andalan mata pencaharian mereka yang sebagian besar lebih pada pertanian ladang dan sawah.
Disisi lain keakraban terhadap kondisi lingkungan alam demikian, juga menyabkan dalam system pengetahuan mereka berkembang konsepsi-konsepsi berkenaan dengan cara memandang, memanfaatkan dan mengolah lingkungan alam itu sendiri. Konsepsi-konsepsi tentang alam ini pada prinsipnya tidak berdiri sendiri, tetapi akan selalu terkait dan terintegrasi dengan elemen lain di luar konsepsi itu sendiri, yang diperoleh lewat proses belajar antar anggota komunitasnya maupun dengan individu diluar komunitasnya. Proses terintegrasinya konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam masyarakat inilah kemudian sering disebut dengan istilah Kearifan Lokal/Kearifan Tradisional.
Di masyarakat Situjuah Gadang memanfaatkan jenis lahan tersebut, yaitu ladang (polak), dan sawah. Selain itu, memanfaatkan lahan yang ada disekitar pemukiman atau pekarangan rumah yang dalam konsep lokal sering disebut dengan parak. Fungsi parak ini sebenarnya tidak ditujukan untuk lahan produktif seperti polak dan sawah, namun tidak jarang masyarakat juga sering menanami lahan sekitar rumah ini dengan jenis tanaman ladang seperti kopi, kulit manis dan pinang dan lahan pekarangan ditanami tanaman-tanaman seperti, pisang, tanaman buah-buahan, dan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk sayur seperti ubi dan palawija.
Lahan yang dimiliki masyarakat berupa ladang, kebun (polak/parak) dan sawah berada di sekeliling kawasan hutan. Mengenai batas-batas lahan milik masyarakat ketentuannya sudah diatur oleh pemerintahan nagari. Batas kemiringan lahan yang ada di nagari ini pada umumnya sebesar sekitar 20-30 derajat Sampai saat ini masyarakat patuh kepada ketentuan tersebut. Dalam menentukan batas lahan-lahan masyarakat di nagari ini masyarakat menggunakan tanda seperti penanaman batu di setiap batas lahan atau dengan menanam pohon tertentu.
Bagi masyarakat Situjuah Gadang, lahan yang boleh ditanami atau dijadikan ladang adalah lahan milik pribadi (keluarga/kerabat), sementara lahan milik kaum biasanya dijadikan untuk pekuburan. Lokasi lahan garapan, apabila berjalan kaki berjarak kira-kira 15 menit perjalanan sampai 5 jam. Lahan yang dimiliki masyarakat berada di sekeliling kawasan hutan yang memiliki batas-batas lahan. Dalam menentukan batas lahan-lahan masyarakat di nagari ini masyarakat menggunakan tanda seperti penanaman batu di setiap batas lahan atau dengan menanam pohon tertentu.
Pembukaan lahan dalam bahasa lokal dikenal dengan Manaruko, umumnya dilakukan dengan cara tebang-bakar. Sebelumnya dilakukan perintisan dan pemilihan lokasi yang dianggap tepat untuk melakukan perladangan, untuk kemudian apabila dianggap sudah tepat, maka dilakukan pemancangan atau memberi patokan akan batas-batas ladang yang akan dibuka (dilambeh). Dalam pembukaan dan pengelolaan lahan perladangan di sekitar kawasan hutan, masyarakat mengenal upacara-upacara dan pantangan-pantangan yang selama ini masih tetap dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Masyarakat masih mempercayai akan adanya “makhluk” penunggu dan penjaga lahan yang tidak diolah. Untuk itu maka maka perlu dilakukan upacara ketika dilakukan pembukaan lahan tersebut.
Konsepsi yang berkembang dalam sistem pengetahuan masyarakat (termasuk didalamya pantangan dan larangan) yang diujudkan dalam bentuk tata cara bagaimana mengolah dan memanfaatkan lahan sampai penelitian ini masih berkembang, diyakini dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakatnya. Model kearifan lokal seperti ini disatu sisi telah melahirkan pola pembukaan dan pengelolaan lingkungan alam yang khas dari Situjuah gadang, namun sekaligus juga telah ikut menjaga ”kelestarian” lingkungan alam itu sendiri, sehingga hubungan masyarakat dengan alam tetap terintegrasi dengan baik secara simbiosis, dimana masyarakat bisa terbantu baik secara ekonomi maupun sosial dengan kondisi tersebut, sekaligus lingkungan alam juga tetap bisa dipertahankan keseimbangannya.

K. Kepustakaan

Ahimsah-Putra, Heddy Shri. 1985. "Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbanding-an", dalam : Masyarakat Indonesia. Jilid XII No.2, hal.103-133.
Arifin, Zainal. 1998. Arifin, Zainal. 1998. Talang: Sistem Klasifikasi dan Tindakan Adaptif Masyarakat dalam Proses Pembentukan Pemukiman Pada Suku-Bangsa Ogan di Lampung Utara. Tesis pada Program Antropologi Pasca Sarjana Univer-sitas Gadjah-mada, Yogyakarta.
Alland JR, Alexander. 1975. "Adaptation", dalam : Annual Review of Anthropology. Vol.4, hal.59-73.
Bennett, John. W. 1976. The Ecological Transition. Cultural Anthropology and Human Adaptation. Pergamon Press, Oxford.
Bennett, John. W. 1980. “Human Ecology as Human Behavior. A Normative Anthropo-logy of Resource Use and Abuse”. Dalam Irwin Altman, Amos Rapoport and Joachim F. Wohlwill (eds). Human Behavior and Environment. Anvances in The-ory and Research (Volume 4 : Environment and Culture). New York : Plenum Press. 243-277.
Dove, Michael R. 1981."Studi Kasus Tentang Sistem Perladangan suku Kuntu' di Kali-mantan", dalam : Prisma No. 4, April, hal.63-77.
Ellen, Roy F. 1982. Environment, Subsistence and System: The Ecology of Small-Scale Social Formations. Cambridge University Press, Cambridge.
Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara K.A., Jakarta.
Jurnal Studi Lingkungan Perguruan Tinggi seluruhh Indonesia, 2002, Volume 22, Nomor 2-4, 2002, Universitas Indonesia
Jurnal Suluah , 2004, Volume 04, Nomor 5 Agustus 2004, Nilai-nilai Demokratis da Eksistensi Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang.
Jurnal Antropologi, Tahun V, Nomor 7, Januari-Juni 2004, Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas.
Monografi Nagari, 2006, Data Isian Monografi Situjuah Gadang, Biro Pemerintahan Nagari/Kelurahan SETDA propinsi Sumatera Barat.
Moran, Emilio F. 1978. Human Adaptability. An Introduction to Ecological Anthropo-logy. Colorado: Westview Press.
Orlove, Benjamin S. 1980. "Ecological Anthropology" dalam Annual Review of Anthro-pology. Vol.9, hal.235-273.
Spradley, James P. 1972. The Ethnographic Interview. Holt, Rinehart and Winston, New York.
Von-Liebenstein, G.W. 1995. "Adaptation and Development: Interdiciplinary Perspec-tive on Subsistence and Sustainablity in Developing Countries" dalam (Kusnaka Adimi-hardja., Ade M. Kramadibrata., Oekan S. Abdullah., dan Haryono S. Mar-todirdjo). Adaptation and Development: Interdiciplinary Perspective on Subsis-tence and Sustainablity in Developing Countries. UPT Indonesian Resource Cen-ter for Indegenous Knowledge Padjadjaran University, Bandung.

Tidak ada komentar: